10 Mei 2009

MANUSIA : makhluk yang celaka? bag I

Akhir-akhir ini, saya melihat bagaimana caleg gagal mengalami goncangan jiwa, ada yang mengambil kembali umpan yang sudah diberikan kepada "calon mangsa"nya. Ada yang lebih tragis lagi : mereka yang dulu kita lihat dan dengar sebagai Yamadipati malah bergandengan mesra dengan mereka yang akan dicabut nyawanya. Lalu sebagian dari kita pun di'paksa' memaafkan mereka dan malah manut saja diminta mengantar mereka ke kamar 'eksekusi kita kelak selama lima tahun'

Sementara itu, saya lihat juga di TV ada harimau di Sumatra yang "memangsa" manusia karena sang harimau kelaparan. Mungkin dia tidak tahu bahwa itu adalah manusia, bukan binatang yang biasanya menjadi mangsanya.

Lalu munculah pertanyaan dalam hati saya : apakah manusia memang makhluk yang celaka? Mungkin saya berlebihan karena pasti ada manusia yang tidak merasa celaka alias manusia yang bahagia, sama halnya dengan binatang yang mati secara wajar dan tidak menjadi kurban para pemangsa. Benarkah kita tidak pernah celaka? Saya kadang-kadang (serasa lebih yakin daripada saya merasa SERING) celaka, baik celaka besar atau celaka kecil. Kalau keinginan saya tidak tercapai saya merasa kecewa, jengkel, marah, dll. Sadar atau tidak sadar, merasa atau tidak, kecewa dan marah adalah bentuk lain dari merasa celaka. Dan tidak ada manusia pun yang tidak pernah merasa kecewa, jengkel atau marah dalam hidupnya. Sama halnya dengan mereka yang 'merasa dikalahkan' dalam pesta demokrasi kemarin dan langsung mencak-mencak mau ini lah..., mau itu lah.... sementara kita pun dikibuli oleh mereka (tetapi anehnya tidak merasa kalau 'dicelakai' parpol-parpol). Naluri lah yang akhirnya menuntun manusia bereaksi, dan reaksi itulah yang memunculkan 'celaka' karena naluri adalah sebagian dari nurani.

Dalam diri harimau, apakah dia jahat karena memangsa makhluk luhur karya SANG PENCIPTA? Apakah dia juga akan 'celaka', entah di dunia ini atau di dunia sana karena memangsa manusia padahal manusia bukan jatah makanannya? Apakah dia melanggar hukum dari SANG PENCIPTA? Apakah manusia disebut jahat karena 'memangsa' manusia lain padahal manusia punya nurani atau tidak jahat karena tindakannya juga berdasarkan naluri atas 'celaka' yang menimpanya? Harimau juga makan anak harimau dalam situasi tertentu, terutama harimau jantan yang hendak mengawini betina yang sedang menyusui anak dari pejantan lain. Itu juga karena naluri? Binatang bergerak berdasarakan naluri dan itu lah yang menghidupkan mereka. Binatang tidak hendak akan menyerang binatang lain atau manusia kalau mereka tidak merasa terancam. Binatang membunuh sesamanya juga didasari oleh kebutuhan dan keharusan untuk bertahan hidup -"macan mangsa mangan suket" , tidak menimbun makanan karena bukan untuk memenuhi hasrat makan di luar batas. Binatang makan secukupnya saja, "sakmadya"

Sebaliknya, manusia bisa saja langsung 'memangsa' sesamanya tanpa bisa diduga "janma tan kena kinira" Beskap yang tampak indah dari muka mengandung bahaya besar pada keris yang tersembunyi di belakangnya. Keindahan sebagai bagian dari nurani ternyata dipadukan dengan 'naluri', naluri sebagai makhluk hidup setara binatang dan tumbuhan

Keinginan yang tak tercapai bisa memunculkan kesusahan dan kesialan, kesusahan dan kesialan itu lalu ditanggapi sebagai celaka. Kadang manusia memusnahkan keberadaan sesamanya karena takut tersaingi, dan rasa tersaingi juga cerminan dari ketakutan yang pada dasarnya adalah kesusahan, celaka.

Ketakutan pada binatang mungkin tidak didasari oleh kekuatiran bahwa dia akan celaka oleh sebab ketakutan itu. ketakutan mereka bisa saja hanya naluri yang tiba-tiba muncul sebagai bentuk menghindar dari bahaya. Sementara ketakutan manusia tidak hanya sebagai naluri tetapi juga nurani bahwa kalau ketakutan itu berwujud, maka rasa yang muncul kemudian adalah rasa 'celaka'. Jadi, ketakutan binatang lebih bersifat adanya bahaya tetapi ketakutan manusia didasari bersifat sadar akan ada bahaya dan kesadaran akan adanya rasa 'celaka' di kemudian hari.

Lalu, makhluk celaka kah manusia?