09 Agustus 2009

"Gendhongan " : sisi kemanusiaan Mbah Surip


Dondhong apa salak, dhuku cilik-cilik. Gendhong apa becak, mlaku thimik-thimik............ > Kedondong atau salak, duku kecil-kecil. Mau digendong atau naik becak, jalan pelan-pelan.

Itu adalah lirik lagu yang terkenal ketika saya masih kecil, masa ketika hidup terasa indah dan penuh keceriaan. Ada bentuk penawaran ketika kita merasa lelah berjalan atau terlalu pelan karena langkah kita yang memang masih kecil, yaitu langkah thimik-thimik. Dan, biasanya, anak kecil akan memilih gendongan sebagai cara yang paling nyaman dan enak, kepenak karena bisa merasakan goyangan tubuh dan hembusan angin yang akhirnya meninabobokan dirinya. Angler sebagai tanda memasuki rasa nyaman lah yang terasa ketika berada dalam gendongan. Bahkan ketika anak kecil susah tidur, cara yang biasa dipakai untuk menidurkannya adalah digendhong, bukan dinaikkan ke dalam becak.

Gendong juga bisa bermakna negatif ketika dikaitkan dengan harta kekayaan, "Bandha ngendhong lali", "harta menggendong rasa lupa sebagai manusia". Di balik harta benda, kita menggendong juga perasaan negatif yaitu rasa curiga, rasa merendahkan orang lain, rasa semua bisa dibeli karena punya uang, rasa yang tidak memanusiakan. Konon, orang yang memelihara
tuyul pun selalu menggendong di belakang badannya ketika berjalan untuk mencari mangsa. Jadi, manusia pun bahkan dengan sadar menggendong bangsa setan untuk alasan mencari kekayaan, dan bukankah ini lebih ironis karena manusia justru sengaja menjatuhkan diri pada keinginan melupakan kemanusiaannya?

Gendong juga bisa membedakan orang lain karena alasan pilih kasih, sehingga ada kata-kata "emban cinde emban siladan", menggendong yang satu pakai kain dan mengendong yang lain pakai kulit bambu yang tajam, dan bisa jadi sama dengan menggendong model Mbah Surip dan menggendong model pengebom J.W Marriot atau Noordin M Top. Mbah Surip dengan kemanusiannya ingin menggendong kita supaya kepenak, mantep, dan tidak kesasar karena tidak tahu arah. Dengan kesederhanaannya Mbah Surip menjanjikan bahwa dia bersedia mengantar kita kemana saja karena dia sudah tahu arah yang kita mau tuju. "kene, takgendhong bae- sini, saya gendong aja". Mbah Surip hanya bertujuan emban cinde. Sementara itu, penggendong bom di Marriot pasti berpikir beda dengan Mbah Surip karena bencana lah yang digendongnya, bencana yang mematikan sesama dan bahkan jauh dari tujuan memanusiakan sesama. Dia bisa saja beralasan bahwa dia menggendong kehendak Sang Pencipta, tetapi saya tidak yakin bahwa yang digendongnya adalah kebenaran dan hanya pembenaran saja. Dia emban siladan terhadap sesamanya.

Pada sisi lain, menurut penuturan teman dekatnya, Mbah Surip juga mengatakan bahwa yang sekarang terjadi adalah setan yang menggendong manusia, setan kelebon manungsa-setan kerasukan manusia. Biasanya kita lah yang menggendong setan, seperti halnya memakai pesugihan dengan menggendong tuyul, tetapi sekarang kita lah yang menjadi lebih setan daripada setan sendiri.

seandainya saya bisa menggendong, mungkin saya ingin bisa menggendong seperti Mbah Surip.
"Sugeng marak sowan kondur ing ngarsanipun Sang Pangeran, Mbah. Mugi-mugi Mbah Surip tansah nggendhong sadaya ingkang kepingin ngraosaken angler"

Gusti nyuwun kawelasan