25 Juli 2009

CIPTAAN UNGGULAN : manusia...

Kadang saya masih bingung memakai sebutan untuk manusia, haruskah saya pakai siapa? ataukah saya pakai apa? Apakah manusia berbeda dengan binatang, pohon, laut, langit, bumi karena semuanya toh sama-sama karya dari Sang Pencipta? Atau bisakah saya menyebut binatang dan pohon, lau dengan siapa? Apakah karena manusia diciptakan terakhir kali - sebagaimana pengakuan setiap agama - sehingga dianggap mahakarya dan selayaknya lah ada sebutan yang sangat khusus pula?

Menurut semua agama, baik agama bumi maupun agama langit, manusia disebut sebagai karya akhir dari Sang Pencipta dengan sangat khusus, dengan semua kelebihan dibandingkan dengan karya sebelumnya, bahkan sesuai dengan citra Sang Pencipta sendiri. Kalau benar demikian, sungguh tidak layak kalau manusia disebut makhluk yang celaka, justru sebaliknya harus dipahami sebagai makhluk yang "seharusnya" paling berbahagia.

Bumi, alam semesta, tanah-air, ini diciptakan sebagai tempat yang pertama kali dan bermakna sebagai tempat tinggal manusia karena manusia tidak bisa tinggal di udara atau di air. Artinya manusia perlu sesuatu untuk menetap. Supaya manusia bisa melangsungkan kehidupannya, Sang Pencipta memberi kita binatang dan pohon sebagai bahan makanan. Pada akhirnya kita lah yang diciptakan dengan segala kecintaanya, diberikanlah naluri dan nurani kepada mahakaryanya, melebihi binatang yang, katanya, hanya dibekali naluri. Kenapa manusia diciptakan terakhir kali sesudah semuanya siap untuk kita? Apakah itu tanda bahwa kita lemah sehingga Sang Pencipta menyediakan semuanya sebelum kita dihadirkan sebagaimana bayi yang tidak bisa apa-apa dibandingkan anak binatang? Bahkan, mungkin saking lemahnya kita, Sang Pencipta pun tidak tega memberi cobaan di luar batas kemampuan kita.

Kita juga dibekali akal yang luar biasa bagus sehingga tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi. namun, kadang kita langsung mengatakan bahwa takdir lah yang datang ketika ada tragedi yang sebenarnya bisa kita atasi. Jadi, kadang kita justru merendahkan akal yang kita terima dari Sang Pencipta. Tsunami yang melanda Aceh, sebenarnya sudah terjadi masa sebelunmya dan kita hanya lupa bahwa leluhur sudah membagi pengalamanya kepada kita. Dengan akal itu pula seharusnya kita menjaga bumi, alam lingkungan kita, binatang sebagai tanda tanda terima kasih atas kesediaaan mereka mendahului kita.

Tapi, saya sangat merasa bahwa justru karena kita lemah dibandingkan binatang dan pohon yang kita siksa setiap hari, maka Sang Pencipta sendiri melimpahi kita dengan welas asih, cinta kasih. Kelemahan itu pula yang seharusnya melahirkan rasa tresna-tinresnan, saling mengasihi diantara kita. Sejauh kita saling menyakiti, memandang sesama sebagai orang lain -pepada dadi liyan-, maka sebenarnya itu bukti bahwa kita memang lemah dan hanya mengikuti naluri tanpa mengindahkan nurani, sama halnya dengan binatang - manungsa nanging isih kaya kewan-. Kecintaan Sang Pencipta dengan segala anugerahnya itulah yang justru seharusnya kita pakai untuk saling memanusiakan diri pribadi dan sesama- nguwongke diri pribadi lan pepada, bukannya memaki sesama sebagai binatang.

Hanya saja, manusia kadang sombong dan merasa lebih-rumangsa linuwih-dari semua ciptaan dan menganggap bumi-alam-binatang, bisa kita kuasai sekehendak hati-sakkkarepe dhewe, sewiyah-wiyah. Kalau memang kita adalah mahakarya unggulan dari Sang Pencipta yang bernurani, sungguh tidak layak kalau kita memusnahkan sesama apalagi kalau itu diatasnamakan menjalankan kehendak Sang Pencipta. Sang Pencipta tidak akan pernah menyakiti ciptaanya, apalagi dengan meminta tolong kepada ciptaanya. Kalau demikian, tanpa sadar kita sungguh merendahkan Sang Pencipta sendiri.

Keunggulan manusia sebagai mahakarya Sang Pencipta adalah menyadari segala kekuranganngya dan sangat bergantung pada bumi-alam-binatang-sesama sebagai tanda ketergantungan kita pada Sang Pencipta itu sendiri.

sembah nuwun konjuk ing Gusti