24 Mei 2010

LALI

"Manungsa kuwi nggone lali, manusia itu tempatnya lupa" sering kita dengar dalam ungkapan manusia jawa. Atau juga ungkapan " yen ora lali ya dudu manungsa- kalau tidak lupa ya bukan manusia".

Lali adalah lupa. Lupa bisa terjadi karena betul-betul lupa atau bisa jadi lupa bermakna mencoba melupakan sesuatu karena ada sesuatu yang lain. Atau juga, lupa lalu berubah menjadi fungsi ketika seseorang harus menghindar dari sesuatu. Sesuatu yang lain itu bisa berupa keinginan, kedudukan, harta, tanggung jawab, keberhasilan, atau apa saja yang hadir dalam pikiran dan kehidupan nyata setiap manusia. Lupa yang pertama biasanya dialami oleh orang yang sudah tua atau seseorang yang mengalami gangguan pada otaknya sehingga daya kerja memorinya tidak berfungsi baik. "Kelupaan" ini masih bisa kita terima karena memang tidak bisa memaksa orang yang lupa benar-benar dan benar-benar lupa. Apakah kita bisa menyalahkan orang yang lupa karena sudah uzur? tentu saja tidak.

Lupa kedua adalah lupa yang diusahakan dan disengaja karena tidak mau mengingat sesuatu yang barangkali tidak mengenakkan di masa lalu. Lupa jenis ini sebenarnya bukan lupa tapi lebih bermakna melupakan atau bahkan mencoba melupakan. Kadang bisa muncul dengan sendirinya atau bisa jadi muncul karena ada rangsangan yang entah disengaja ataupun tidak. Sifat lupa jenis kedua ini juga bisa lebih menyakitkan kalau ternyata memang hal yang ingin dilupakan nyatanya masih menempel kuat dan sebenarnya tidak ingin dilupakan, dan yang terjadi dalah neraka yang masih dirasakan dalam hidup. Bisa juga berhasil melupakan dan menerima apa yang sudah terjadi sebagai bagian hidup di masa lalu sehingga damailah dia dan menemukan surga di dalam hidupnya.

Lupa yang ketiga adalah lupa yang dibuat-buat dan justru sebagai alat pembenar dan sekaligus juga fungsi untuk menghindar dari tanggung jawab. Lupa yang ketiga ini sebenarnya yang sering terjadi dalam hidup manusia. Ketika seseorang diminta pertanggungan jawaban yang tidak bisa dilaksanakan biasanya jawaban yang muncul adalah "maaf saya lupa- wah aku lali", misalnya hal ini terjadi pada murid-murid yang tidak mengerjakan tugas dari gurunya. Wajah yang dipasang pun seolah benar-benar lupa meskipun menjadi sangat lucu karena sebenarnya matanya mengatakan hal yang sebaliknya.

Pada masyarakat Jawa ada jenis lupa yang lain yaitu manusia menjadi lupa akan dirinya sendiri dan terkadang malah bisa mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Inilah lupa yang paling berbahaya. Seseorang yang masuk dalam jenis ini sebenarnya menolak nilai-nilai rasa manusia yang hakiki karena hanya mengejar sesuatu yang semu. Harta, kedudukan, dan harga diri , kebenaran semu lah yang biasanya membuat manusia terjerumus atau menjerumuskan dirinya.
Tanpa sadar lupa jenis ini justru mencelakakan orang lain karena dia mengambil hak milik orang lain. Korupsi, misalnya, adalah contoh bahwa seseorang merasa bahwa dia berhak atas sesuatu yang sebetulnya bukan haknya. Demi mengejar kedudukan dan rasa bangga semu, seseorang juga tidak segan-segan mau menjadi orang yang 'lupa' akan rasa manusia yang sejati. Dia juga menyakiti orang lain dengan semena-mena dan tidak segan "mematikan" rasa orang lain karena orang lain dianggap sebagai alat dan sekaligus korban atas keinginan pemuasan diri pribadi.


13 Mei 2010

KORBAN = PAMRIH?

Suatu hari saya terperangah menonton TV karena ada seorang abdi negara sekaligus abdi masyarakat yang hamba hukum, minta perlindungan karena takut ancaman atas keselamatan nyawanya. Yang lebih menarik adalah, si empunya hukum justru minta perlindungan ke lembaga yang tidak ada hubungan dengan hukum. Lebih terperangah lagi karena keluarga si empunya hukum merasa bahwa beliau sudah memberi banyak pengorbanan sekaligus sebagai korban untuk negara ini.

Sesudah itu saya lalu merenungi deretan kata korban-pengorbanan-pamrih. Di mana kah ada korban dan pengorbanan? Kalau saja seseorang yang punya kekuatan cukup besar masih saja menjadi korban, lalu bagaimana dengan mereka yang berada di bagian paling bawah pada hirarki kekuatan. Pertanyaan lain adalah siapakah di negeri tercinta ini yang sudah berkorban? Apakah arti berkorban pada diri seseorang yang punya kekuatan dan bisa bermain dengan kekuatan itu? Apakah ada perbedaan berkorban dan bertanggung jawab sebagai abdi negara?ni

Ketika saya memahami makna korban, maka saya merasa bahwa korban adalah manusia atau bianatang yang betul-betul tidak berdaya menghadapi situasi ataupun perbuatan, misalnya korban bencana alam, korban kecelakaan, korban penipuan. Korban yang berasal dari akar kata Ibrani KAROV dengan makna "[datang] mendekat [kepada Allah]” ternyata bisa juga “diterjemahkan” menjadi “[pergi) menjauh [dari Allah] karena “akal budi manusia” yang berubah menjadi “akal-akalan manusia”. Petunjuk para nabi bahwa kurban sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta yang harus disertai moralitas dan kebaikan dari dalam diri manusia itu sendiri diterima sebagai bentuk pengingkaran kepada Sang Pencipta diiringi kepentingan si kuat terhadap si tak berdaya, ketidakadilan terhadap si papa atas hasrat si punya.


Lalu, di manakah posisi 'korban' pada beliau ini? Bisa jadi beliau ini memang menjadi korban dari persekongkolan, tapi apakah derajat sebagai 'korban' sama besar dengan teman yang tertimbun lumpur Lapindo, saudara yang terpenjara oleh ketidakadilan di negeri ini, yang jelas-jelas tidak punya kekuatan apa pun selain dipaksa-paksa merunduk?

Lalu pengorbanan yang beliau berikan apakah betul sebagai pengorbanan atau seharusnya lebih dimaknai sebagai tugas dan kewajiban? Sebagai bagian dari sistem yang ada, seharusnya lah orang yang memiliki kekuatan sekaligus kekuasaan memberikan kewajibannya dan tugasnya kepada bangs dan negara karena dia mendapatkan hak-hak dari negara. Hak yang dia peroleh adalah hasil dari kewajiban yang harus diberikan kepada negara dari semua bangsa ini, termasuk kamu papa tertindas melalui pajak, "kewajiban membayar administrasi, dll", yang barangkali malah tidak pernah mendapatkan haknya sebagai anggota bangsa merdeka ini. Jadi seharusnya dia menyikapi pengorbanan itu sebagai kewajiban karena seluruh bangsa sudah memberikan kewajibannya, yang kelak kemudian dia terima sebagai haknya. Apakah pemberian sesuatu yang dihargai dengan penerimaan sesuatu bisa dianggap pengorbanan? Kalau memang demikian, bagaimana dengan si papa tertindas yang dipaksa memberikan sesuatu dan tidak pernah menerima sesuatu?

Apakah "sudah memberikan perngorbanan dan sudah berkorban" lalu bisa dipahami juga sebagai pamrih? Dalam hati setiap manusia, ketika sudah mengucapkan kata "saya sudah berkorban" saya kira dia langsung membuat hitungan matematika tentang kesepadanan antara yang dia beri dan dia terima. Kalau merasa apa yang diterima tidak sepadan, biasanya kita lalu memakai kata sakti "berkorban" yang di dalamnya, diharapkan, ada pengertian dan pembelaan atas apa yang sudah diberikan. Apakah lalu ini yang kita sebut sebagai pamrih? Setiap kata sakti itu keluar, biasanya kata sakti kedua juga hadir karena dalam kata sakti pertama itu tersimpan kata sakti kedua. Berbeda dengan kata indah lega yang berarti bebas.

Perenungan saya ternyata tidak bisa berhenti karena membayangkan seandainya semua orang yang punya kekuatan dengan hukum masih saja minta perlindungan dan berhitung dengan kata sakti ' berkorban'. Apa yang akan terjadi di negeri dan bangsa ini kalau saja semua mereka yang berkuasa masih saja berpikir tentang pamrih? Bagaimana dengan kaum papa tertindas yang ingin mendapatkan secuil haknya saja harus terkapar berkali-kali?

Gusti, nyuwun kawelasan Dalem....

02 Mei 2010

BEGJA

Wong kang pinter kuwi isa kalah karo wong kang begja. Sanajan pinter ananging yen durung ketiban begja, durung mesthi uripe wong kuwi bisa kepenak. Kosokbaline, sanajan sinau mung tekan SD, mbokmenawa uripe bisa ngalahake wong sing sinau tekan S2 utawa malah S3. Wis akeh conto sing ana ing donya iki yen wong sing uripe rekasa dumadakan bisa nampa kabegjan sing gedhe, upamane oleh hadiah mobil saka bank kamangka tabungane neng Bank mung sithik. Ana uga sarjana lulusan universitas sing wis nyoba golek pagaweyan mrana-mrene ananging tetep durung isa nyambut gawe.


Saka ngendi asale begja? Begja asale ya mung saka Gusti. Begja ora liya rasa “matur nuwun” marang apa bae kang sawayah-wayah ditampa manungsa saka Gusti . Nalika nampa kacilakan nganti salah sijne tangane ilang, wong Jawa isih bisa omong kaya mangkene “ Begja mung tangane sing ilang, lha yen sirahe sing ilang mesthi bakal nemoni pati”. Conto liyane, ana ukara “ Wah….., begja tenan kowe bisa nyambut gawe nang kantor kuwi”. Begja uga tandha yen isih ana tresna saka Gusti marang manungsa. Contone: upama mung nampa bayar sithik, wong Jawa isih bisa ngucap “ Matur nuwun Gusti, begjane isih bisa nampa dhuwit senajan mung sithik” Begja uga ngemu pangarep-arepe manungsa marang babagan kan apik. Nalika wong tuwa ndongakake anake sing arep lunga adoh, adate wong tuwa duwe pangarep-arep kanthi ngucap “ “Muga-muga bisa nemoni begja ing uripmu, ya Nak?”


Apa begja kuwi bisa karasake dening kabeh manungsa? Ya. Rasa begja bisa dirasakake kabeh manungsa, malah uga bisa karasakake dening wong sing lagi nampa kacilakan kaya conto neng ndhuwur. Sanajan mangkono, akeh wong sing ora bisa ngrasakake begja sanajan wis akeh nampa kabegjan. Manungsa kerep lali yen isih bisa urip tekan saiki kuwi sejatine ya isih nampa kabegjan. Yen wis ora nampa kabegjan, mesthi bae wong kuwi wis mati. Isih bisa ambegan, isih bisa mlaku, isih bisa ngguyu, isih bisa mangan kuwi sejatine isih nampa kabegjan. Lha yen wis ora bisa ambegan lan ora bisa mangan kuwi tegese wis mati. Kabegjan kuwi sejatine kudu bisa dirasakake


Ing wektu saiki, nalika sangsaya akeh wong lali marang kahanan, nalika akeh wong mung golek senenge dhewe, nalika drajat, pangkat, lan dhuwit dadi barang kang diutamake, wong Jawa kudune emut marang apa sing wis katulis dening R.Ng, Ranggawrsita yaiku “ wong sing paling begja yakuwi wong sing tetep eling lan waspada”. Tegese, sanajan lagi nampa kabegjan, manungsa ora oleh lali marang apa kang wis ditampa saka Gusti. Manungsa tansah kudu eling yen samubarang kuwi saka Gusti lan bisa mangerti yen sawayah-wayah samubarang kuwi bisa dijaluk maneh dening Gusti. Manungsa uga kudu waspada supaya ora “ilang” ing uripe lan bisa ilang kamanungsane. Yen wis ilang kamanungsane, manungsa ora bisa kasebut dadi manungsa maneh.