13 Mei 2010

KORBAN = PAMRIH?

Suatu hari saya terperangah menonton TV karena ada seorang abdi negara sekaligus abdi masyarakat yang hamba hukum, minta perlindungan karena takut ancaman atas keselamatan nyawanya. Yang lebih menarik adalah, si empunya hukum justru minta perlindungan ke lembaga yang tidak ada hubungan dengan hukum. Lebih terperangah lagi karena keluarga si empunya hukum merasa bahwa beliau sudah memberi banyak pengorbanan sekaligus sebagai korban untuk negara ini.

Sesudah itu saya lalu merenungi deretan kata korban-pengorbanan-pamrih. Di mana kah ada korban dan pengorbanan? Kalau saja seseorang yang punya kekuatan cukup besar masih saja menjadi korban, lalu bagaimana dengan mereka yang berada di bagian paling bawah pada hirarki kekuatan. Pertanyaan lain adalah siapakah di negeri tercinta ini yang sudah berkorban? Apakah arti berkorban pada diri seseorang yang punya kekuatan dan bisa bermain dengan kekuatan itu? Apakah ada perbedaan berkorban dan bertanggung jawab sebagai abdi negara?ni

Ketika saya memahami makna korban, maka saya merasa bahwa korban adalah manusia atau bianatang yang betul-betul tidak berdaya menghadapi situasi ataupun perbuatan, misalnya korban bencana alam, korban kecelakaan, korban penipuan. Korban yang berasal dari akar kata Ibrani KAROV dengan makna "[datang] mendekat [kepada Allah]” ternyata bisa juga “diterjemahkan” menjadi “[pergi) menjauh [dari Allah] karena “akal budi manusia” yang berubah menjadi “akal-akalan manusia”. Petunjuk para nabi bahwa kurban sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta yang harus disertai moralitas dan kebaikan dari dalam diri manusia itu sendiri diterima sebagai bentuk pengingkaran kepada Sang Pencipta diiringi kepentingan si kuat terhadap si tak berdaya, ketidakadilan terhadap si papa atas hasrat si punya.


Lalu, di manakah posisi 'korban' pada beliau ini? Bisa jadi beliau ini memang menjadi korban dari persekongkolan, tapi apakah derajat sebagai 'korban' sama besar dengan teman yang tertimbun lumpur Lapindo, saudara yang terpenjara oleh ketidakadilan di negeri ini, yang jelas-jelas tidak punya kekuatan apa pun selain dipaksa-paksa merunduk?

Lalu pengorbanan yang beliau berikan apakah betul sebagai pengorbanan atau seharusnya lebih dimaknai sebagai tugas dan kewajiban? Sebagai bagian dari sistem yang ada, seharusnya lah orang yang memiliki kekuatan sekaligus kekuasaan memberikan kewajibannya dan tugasnya kepada bangs dan negara karena dia mendapatkan hak-hak dari negara. Hak yang dia peroleh adalah hasil dari kewajiban yang harus diberikan kepada negara dari semua bangsa ini, termasuk kamu papa tertindas melalui pajak, "kewajiban membayar administrasi, dll", yang barangkali malah tidak pernah mendapatkan haknya sebagai anggota bangsa merdeka ini. Jadi seharusnya dia menyikapi pengorbanan itu sebagai kewajiban karena seluruh bangsa sudah memberikan kewajibannya, yang kelak kemudian dia terima sebagai haknya. Apakah pemberian sesuatu yang dihargai dengan penerimaan sesuatu bisa dianggap pengorbanan? Kalau memang demikian, bagaimana dengan si papa tertindas yang dipaksa memberikan sesuatu dan tidak pernah menerima sesuatu?

Apakah "sudah memberikan perngorbanan dan sudah berkorban" lalu bisa dipahami juga sebagai pamrih? Dalam hati setiap manusia, ketika sudah mengucapkan kata "saya sudah berkorban" saya kira dia langsung membuat hitungan matematika tentang kesepadanan antara yang dia beri dan dia terima. Kalau merasa apa yang diterima tidak sepadan, biasanya kita lalu memakai kata sakti "berkorban" yang di dalamnya, diharapkan, ada pengertian dan pembelaan atas apa yang sudah diberikan. Apakah lalu ini yang kita sebut sebagai pamrih? Setiap kata sakti itu keluar, biasanya kata sakti kedua juga hadir karena dalam kata sakti pertama itu tersimpan kata sakti kedua. Berbeda dengan kata indah lega yang berarti bebas.

Perenungan saya ternyata tidak bisa berhenti karena membayangkan seandainya semua orang yang punya kekuatan dengan hukum masih saja minta perlindungan dan berhitung dengan kata sakti ' berkorban'. Apa yang akan terjadi di negeri dan bangsa ini kalau saja semua mereka yang berkuasa masih saja berpikir tentang pamrih? Bagaimana dengan kaum papa tertindas yang ingin mendapatkan secuil haknya saja harus terkapar berkali-kali?

Gusti, nyuwun kawelasan Dalem....