21 Oktober 2009

RASA ; gela dan lega



Kata selalu mengandung makna dan kekuatan, bahkan huruf yang sama bisa sangat berbeda maknanya ketika susunan huruf itu berubah. Perbedaan kata itu bisa sangat tipis, tetapi bisa sangat bertolak belakang maknanya. Susunan huruf TUHAN bisa berkebalikan 180 derajat dengan HANTU. Derajat itu sangat berlawanan fungsi, yang satu menghancurkan dan menyesatkan sementara satunya memberi kedamaian, ketenangan, kebahagiaan.

Ketika gela diperbandingkan dengan lega, pertentangan batin karena makna yang muncul dari huruf tersebut juga sangat kuat. Gela - kecewa, akan mengakibatkan luka batin dan hanya bisa tersembuhkan dengan kekuatan lega - membebaskan beban, menerima segala situasi.

Gela adalah tanda pemberontakan diri atas ketidaksesuaian antara yang diinginkan dan yang terjadi. Tidak tercapai keinginannya untuk memiliki posisi yang tinggi akan melahirkan rasa gela-kecewa. mengharapkan seseorang memberi apa yang diinginkan juga akan memunculkan rasa gela, apalagi gela itu mencapai tahapan kepati-pati, kecewa yang teramat sangat. Gela karena tidak bisa menikahi wanita yang sangat didambakan bisa membawa keputusasaan dan mempertemukan seseorang pada kematian sebagai pembenaran atas 'rasa'nya. 'Paksaan' dari kita terhadap orang lain agar melakukan yang kita inginkan memunculkan rasa gela kita terhadap orang itu, "aku gela amarga dhewekke ora nurut marang aku".

Kecewa bisa jadi muncul kepada diri sendiri dan juga kepada orang lain. Akibat yang nampak atas kecewa terhadap diri sendiri bisa jadi hanya akan melukai diri sendirii. Berbeda dengan akibat kecewa terhadap orang lain, yang ternyata tidak hanya menyakiti diri sendiri tetapi juga menyakitkan pihak lain. Kecewa atas orang lain sebenarnya menimbulkan kecewa pada orang lain itu juga, jadi yang merasa kecewa ternyata menjadi 2 orang. Gela kuwi bisa mbebayani tumrap dhiri pribadi lan pepadha.

Lalu, apa itu gela? Gela adalah tanda pemberontakan atas ketidaksesuaian antara yang diinginkan dengan yang terjadi, sekaligus pengingkaran diri pribadi atas apa yang seharusnya diterima sebagai suatu kepastian. Pemberontakan dan pengingkaran ini pada hakikatnya adalah penolakan kita kepada apa yang diberikan oleh Sang Pencipta, sekaligus rasa tidak menerima atas Sang Pencipta itu sendiri. Pengingkaran itu juga akan tersimpan dalam alam bawah sadar kita dan akan muncul kembali di masa depan ketika sesuatu yang mengingatkan kita pada kekecewaan itu terjadi. Jadi, sebenarnya semakin lama kita merasa gela-kecewa, semakin kuat juga sakit yang kita tanamkan, berlipat-lipat sakit yang akan muncul kemudian.

Pertanyaan yang lain adalah : siapa yang melahirkan gela? orang lain kah yang membuat kita kecewa? Gela itu muncul pada diri kita. "Si A gawe aku gela- Si A membuat saya kecewa" Bisa jadi kita menganggap bahwa gela itu disebabkan oleh orang lain, tetapi siapa yang merasa kecewa? Rasa kecewa itu sebenarnya tetap datang dari kita dan orang lain hanyalah pembenaran dan pantulan atas rasa kecewa yang muncul. Dia hanya memantulkan kembali pemberontakan dan pengingkaran kita sendiri atas apa yang seharusnya kita terima. sama seperti cermin di dinding kamar kita. Justru orang lain lah yang mungkin akan terkena rasa kecewa kita. Yang malah mungkin terjadi adalah cermin itu bisa kita hancurkan karena kita menolak apa yang terpantul di cermin itu, dan itu sama dengan perasaan kecewa dan marah kita kepada orang lain, lalu mengatakan bahwa orang lain lah penyebab kecewa itu., dan bahkan kita bisa menghancurkan hidup seseorang. Kenapa? cermin hanya memantulkan sisi luar yaitu badan manusia, sedangkan orang lain sebagai cermin, tidak hanya memantulkan sisi badan kita tetapi juga bisa memantulkan sisi batin kita. Bisakah kita selalu menerima pantulan sisi batin kita sementara pantulan itu adalah tanda penolakan atas apa yang akan kita terima?

Apakah gela kita berbeda dengan gela orang lain? Apakah kecewa seseorang bisa lebih besar daripada kecewa orang lain? Bisa saja kita mengatakan kecewa A lebih besar daripada kecewa B? Tidak, kecewa semua orang adalah sama, tidak ada yang lebih besar atau yang lebih kecil. penolakan dan pemberontakan atas apa yang terjadi itu sama, rasa itu sama. Besar-kecilnya kecewa hanyalah pembenaran dan bentuk pemberontakan yang lebih besar lagi dari sebelumnya.

Bagaimana melepas rasa gela-kecewa itu? Kita bisa mengubah rasa itu dengan mengubah urutan huruf itu menjadi lega-menerima. Ya, memang mengubah urutan huruf itu lebih mudah daripada mengubah urutan rasa yang sudah terlanjur ada dalam hati kita. Lha wong sedang marah dan kecewa kok disuruh menerima, kalau bisa ya harus membalas kecewa itu ketika "merasa" kecewa itu muncul sebagai akibat perbuatan orang lain.


Lega-menerima sebenarnya adalah bentuk penyadaran dan kesadaran tertinggi untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh pada Sang Pencipta, sesuatu yang akan datang darinya, sesuatu yang lebih berharga dan bernilai dibandingkan penolakan dan pemberontakan, suatu kebenaran-bukan pembenaran. Mengapa kita memaksakan diri punya HP BlackBerry kalau kita hanya perlu untuk menelepon? Bukankah fungsi HP itu utamanya untuk menghubungi seseorang, taruhlah bisa dilakukan dengan SMS dan telp saja? Apakah kta tidak bisa hidup kalau tidak punya BB? tentu kita puas kalau bisa punya BB, tapi kepuasan itu hilang dan berubah menjadi kecewa kalau ada HP jenis baru muncul. Kesadaran tertinggi kita sebenarnya mentakan bahwa HB itu membantu pribadi kita untuk menghubungi pribadi lain, tidak lebih! Lha kalau kita bisa berdamai dengan keadaan itu, maka lega lah kita.

Lega adalah menerima bahwa Sang Pencipta memberi penyadaran dan kesadaran bahwa ada sesuatu yang lebih bernilai dan berharga. Tentu kita ego kita akan menolak dan muncul kecewa kalau orang yang kita harapkan menjadi pasangan ternyata menolak pinangan kita. Barangkali dia menolak karena sadar bahwa kalau menerima pinangan kita, maka kesusahan lah yang akan muncul di belakang hari. Barangkali kita tidak sadar bahwa kita melakukan pembenaran atas ego kita dengan "meyakinkan diri" bahwa kebahagiaan lah yang akan muncul di kemudian hari. Mungkin saja kita menutup hati atas kehendak " Sang Pencipta" bahwa sudah ada seseorang yang disiapkan olehnya. Apakah kita juga akan menyakiti dan membalas kecewa kita terhadap dia? Lalu, apa salah dia karena dia menolak? Lalu, siapa yang sebenarnya salah? Lalu, apakah kita harus mati karena rasa kecewa itu? Ternyata, kita masih bisa hidup walaupun kita tidak hidup dengan orang lain, dan bahkan lebih bahagia. Sia-sialah dan membuang energi saja rasa kecewa kita. Lalu, kenapa kita tidak berdamai dengan penolakan itu saja sejak awal?

Lega adalah menerima dengan sangat sadar keberadaan pribadi kita-pribadi orang lain - dan keadaan. Kalau kita memang harus menjadi korban gempa, sia-sialah kita memberontak terhadap keadaan itu, tak ada gunanya juga meratapi keadaan itu tanpa melakukan sesuatu. Apakah kecewa kita akan memperbaiki keadaan sebagai korban? Apakah kita akan menyalahkan alam padahal kita sadar bahwa kita adalah bagian yang sangat kecil-jagad cilik dari alam semesta- jagad gedhe. Kalau kita menolak itu, sebenarnya kita juga menolak Sang Pencipta karena keberadaan kita adalah karya tangan Sang Pencipta. Kadang kita mendengar kata orang lain bahwa untung hanya rumah yang rusak, untung hanya kaki kiri saya yang patah, dan masih banyak untung-untung lain dibalik kondisi dan bencana itu. Jadi, sebenarnya kita sadar bahwa kita bisa mengubah urutan rasa itu, sama seperti kita mengubah urutan kata gela menjadi lega.

Jadi, berdamailah dengan pribadi diri- pribadi orang lain-dan keadaan.

sembah nuwun konjuk ing Gusti
















18 Oktober 2009

LUKISAN : ada sisi kosong yang harus dilihat!


Salah satu pembelajar yang saya dampingi adalah seorang pelukis Inggris yang tinggal di Ubud, Bali. Dia sudah cukup banyak makan garam tentang bisnis, suka menjelajah banyak negeri, mempelajari yoga dan reiki. Dalam proses kreatifnya menjadi seorang " tukang gambar", dia tidak segan belajar dari banyak pelukis dari banyak negara dengan prinsip " golek banyu apepikul warih- mencari air berbekal air".

Sang pengajar dari si pembelajar memaksa dia untuk memakai kanvas yang besar. Dia langsung saja merasa tidak nyaman. Bagaimana bisa nyaman kalau melukis di kanvas yang kecil saja dia merasa kurang bagus, pasti akan semakin banyak orang yang menertawakan lukisannnya. Kenapa? Kelemahannya akan terlihat lebih nyata pada kanvas besar dibandingkan lukisan pada kanvas kecil. Sang pengajar tidak mau tahu dan si pembelajar tetap harus melukis di kanvas besar itu, dengan pesan, fokuslah pada satu bagian kecil dari kanvas besar itu! Akhirnya dia melukis pada pojok kanvas besar itu, dan tanpa sadar akhirnya dia bisa memenuhi kanvas besar itu dengan lukisan. Sang pengajar menyuruh supaya lukisan itu disimpan sebagai bagian dari proses kreatif si pembelajar.


Langsung saja merasakan energi besar dari cerita si pembelajar itu, nilai sebuah kanvas sebagai kumpulan mikrokosmos yang akhirnya memenuhi makrokosmos, jagad cilik sing ngebaki jagad gedhe.

Pada awalnya melukis pada bagian kecil kanvas adalah awal dari sebuah lukisan besar. Ketika suatu bidang kanvas sedang terisi, tanpa sadar mata kita juga akan melihat bagian besar kanvas yang masih kosong. Memang, perhatian kita tercurah pada sisi yang sedang kita isi dan barangkali melupakan sisi lain yang masih kosong. Tapi pada saat kita mundur dan merenungkan bagian kecil itu, tanpa sadar kita akan melihat sisi kosong lain. Dan pada saatnya nanti, tangan kta akan mengisi ruang kosong itu dengan gambaran lain. Berhenti sesaat untuk merenung dan kembali. Sama halnya dengan hidup yang sedang kita jalani, pada saatnya kita berhenti sejenak, mengamati apa yang sudah kita lukis, lalu kita akan meneruskan kembali lukisan hidup kita. Sama halnya apa yang kita pahami sebagai : hidup itu seperti mampir untuk minum air, urip kuwi mung saderma mampir ngombe. Bidang kosong itu akan kita isi gambaran apa adalah tergantung kita sendiri sebagai pelukisnya. Kita juga lah yang akan memberi warna bagian dan seluruh kanvas itu dengan kata hati kita, harapan kita, mimpi kita, kemarahan kita, ego kita.


Bagian yang sedang kita lukis adalah mutiara hidup, entah itu sisi gelap atau terang, mungkin suka mungkin benci, bisa jadiketulusan atau kemarahan. Apakah bagian kosong yang akan kita gores dengan gambar dan warna harus selaras dan saling mengisi dengan bagian yang sudah tertandai? Apakah bisa terbebas dari segala yang sudah lewat? Kita sendiri sebagai pelukislah yang akan menentukan. Apakah mungkin ada pribadi lain yang mempengaruhi bagian kosong yang akan kita isi? Pribadi kita sendiri juga yang mengarahkan bagaimana sebaiknya kita menerima pribadi lain.

Apakah seluruh kanvas yang kelak terisi penuh lukisan akan terasa indah untuk pribadi lain dan pribadi kita sendiri? Kita serahkan saja pada seluruh pribadi yang sebenarnya terlibat dalam pelukisan itu karena kita tidak bisa memaksa pribadi lain mengikuti kita. Barangkali kita hanya bisa menduga dan berharap, bahwa pribadi lain pun mersakan hal yang sama atas lukisan yang mereka buat sendiri.

Hanya satu hal yang bisa saya rasakan seandainya saya adalah seorang pelukis, berhenti sejenak untuk mengamati dan terlibat pada apa yang sudah saya isi pada mikrokanvas. Berhenti sejenak dan minum air kehidupan dari Sang Pencipta, lalu kembali mengisi bagian kosong lain pada seluruh lembaran makrokanvas saya yang terbentang, polos.