27 Desember 2009

RASA : NGALAH


Pada saat sebelum latihan Reiki, salah satu teman latihan membuat analogi yang menarik tentang kata ngalah yang tidak berarti kalah. kata ngalah disejajarkan dengan kata ngetan yang artinya menyang wetan atau pergi ke Timur, karena wetan artinya timur. Jadi ngalah sama dengan pergi ke Allah. Saya langsung tercenung dengan analogi itu.

Dalam keseharian orang Jawa, yang sekarang sudah sangat jarang terdengar lagi, kata ngalah punya makna mendalam. Seorang kakak diharapkan ngalah kepada adik, "sing tuwa ngalah- yang lebih tua lebih baik mengalah"; juga "wani ngalah luhur wekasane- berani mengalah, kemuliaanlah yang akan diperolehnya". Atau, dalam beberapa situasi muncul kata-kata "sing waras ngalah-yang masih waras akalnya mengalah saja"

Ngalahnya seorang kakak atau seseorang yang sudah tua tidak berarti mengalah dengan kecewa dan dipenuhi amarah sehingga merasa kalah berhadapan dengan adik atau orang yang lebih muda. Berani mengalah adalah kesediaan untuk menerima keadaan dengan keyakinan bahwa yang akan didapatnya pada akhir adalah kemuliaan. Yang masih waras lebih baik mengalah tidak berarti orang lian gila, tetapi sebenarnya mengajak bahwa kita yang masih bisa diberi anugerah bisa beroikir panjang lebih baik merenung dan menerima keadaan. Mengalah juga bisa dipahami sebagai waras - kesadaran tertinggi - bahwa orang yang mengalah sudah merasakan atau memahami apa yang belum dirasakan dan dipahami oleh orang yang lebih muda, jadi bisa dimaknai sebagai memberi kesempatan dan waktu kepada yang muda. Ngalah menjadi tanda menghadap Allah dan mengucap syukur atas apa yang sudah diterimanya sehingga ngalah seharusnya terjadi dalam keadaan bahagia dan penuh suka cita, bukan amarah dan kedukaan.

Sikap ngalah tentu saja tidak selalu menyenangkan karena sering diterima sebagai paksaan ditempatkan sebagai si kalah. Keadaan ngalah juga sering diterima dengan gerutu sehingga sering terdengar ' Yo wiiiiiiiiiis, sing tuwa ngalah- ya sudaaah, saya harus mengalah karena lebih tua!" Atau justru malah menganggap orang yang lain "ora waras - tidak waras alias gila" Bisa jadi juga " aku perlu saiki dadi kenangapa kudu ngenteni tekan wekasane-saya mau sekarang jadi kenapa harus menunggu sampai akhir yang belum jelas" Kesemuanya sebenarnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan sendiri- "mung menang butuhe dhewe". keinginan untuk pemenuhan keinginan sendiri bisa jadi wajar dan manusiawi.

Tetapi, ketika ngalah diterima sebagai pemahaman yang sangat tinggi sebagai kepasrahan dan penyerahan kita kepada Sang Pencipta, mungkin sikap ngalah itu menjadi sangat bernilai. Kepasrahan dan penyerahan kepada Sang Pencipta menunjukkan adanya kepercayaan kepada kuasa Sang Pencipta - Allah sekaligus tanda suka cita bahwa kita sudah diberi banyak hal selama ini dan pada akhirnya ketenangan dan kemuliaan lah yang akan kita terima. Ketenangan dan kemuliaan itu pasti tidak terjadi pada dunia orang mati, tetapi kita rasakan sebagai kedamaian saat ini dan pada waktu-waktu berikutnya pada saat kita kembali ngalah. Sikap ngalah dalam bentuk yang nyata adalah menyang Allah yaitu pada saat kita mati raga berdoa atau bermeditasi atau pada waktu kita menyatukan dunia kecil kita ke dalam dunia besar, mikrokosmos yang menyatu dengan makrokosmos.

Ngalah adalah menyang Allah, menuju Tuhan.

Sembah nuwun konjuk ing Gusti.