29 Desember 2009

RASA : NGAKU


Menyeberang dalam tatabahasa Indonesia berarti menuju seberang, juga dalam bahasa Jawa "nyabrang- menyang sabrang ". Mendarat, memasyarakat, membumi juga mengacu pada arti yang sama yaitu menuju darat, masyarakat, bumi dan berupa kata benda yang bernuansa tempat.

Lalu, bagaimana arti "mengaku atau mengakui?" misalnya dalam kalimat akhirnya dia mengaku mencuri uang rakyat, atau dia mengaku-aku sebagai pejabat, atau kalau dalam satu agama tertentu ada kata-kata mengaku dosa atau "saya mengaku". Kata dasar mengaku adalah kata benda "aku" yang bukan tempat seperti halnya darat, laut, udara, dan sedikit berbeda dengan masyarakat. Apakah aku adalah tempat? Kalau tempat, di manakah dan bagaimana wujud tempat itu? Masyarakat mungkin bisa mengacu pada tempat karena ada sekumpulan orang yang berada dalam suatu lingkungan, misalnya masyarakat Jawa, masyarakat Eropa, dll.

Yang sering kita katakan sebagai aku adalah aku secara badani misalnya dalam kalimat "aku durung mangan-saya belum makan, atau wah awakku lara kabeh- wah seluruh badan saya sakit" dan biasanya kita malah takut mengatakan AKU yang sejati, aku yang sebenarnya. Ketakutan ini karena kata yang mengikuti kehadiran aku sejati adalah kata "ngakoni-mengaku atau mengakui". Kenapa takut? Karena kata ngakoni cenderung menuntut adanya pengakuan atas kesalahan dan kita tidak mau merasa benar bahwa kita salah. Jadi tanpa sadar kita takut dengan kata ngakoni-mengaku(i) karena menunjukkan kita adalah benar-benar salah. Atau kata ngakoni bisa bernuansa sebaliknya yaitu menolak "AKU" sejati ketika kata yang kita pakai adalah 'ngaku-aku atau mengaku-aku" Penolakan itu jelas kelihatan ketika seseorang "merasa sebagai" polisi padahal dia adalah pencuri, atau "ngakune sugih". Penolakan itu bisa karena perasaan seseorang ingin diakui keberadaannya, bisa jadi karena dengan ngaku-ngaku itu mendapat keuntungan, atau mungkin saja karena ingin memenuhi impian yang tidak tercapai. Kesemua alasan itu barangkali muncul karena rasa tidak berani menerima kenyataan yang sebenarnya. Dan sebenarnya, seseorang harus siap menerima resiko kalau "ngaku-akunya' akan konangan-ketahuan, dan bisa menjadi rasa wirang-malu yang teramat sangat"

Sebenarnya kita sadar bahwa AKU adalah "tempat" dan kita tahu di mana tempat itu. Aku setiap orang adalah sama, entah itu kaya atau miskin, tua atau muda, laki-laki atau perempuan. "aku" di sini adalah "aku sejati- batin-pribadi tinggi" dan bukan "aku wadag-aku fisik", dan berada di tempat yang sangat dalam dan sangat tinggi. Sangat dalam karena kadang kita harus mencarinya bersusah payah, bahkan perlu bertahun-tahun untuk menemukannya. Sangat tinggi karena "AKU" adalah "pribadi dan kesadaran tertinggi", artinya aku adalah penjelmaan sekaligus perwakilan Sang Pencipta sendiri yang hadir dalam "aku wadag"

"Ngakoni- mengaku" adalah jalan menuju "AKU ", dan sekaligus bentuk kesadaran akan hakikat yang ada dalam badan wadag. Pada saat kita ngakoni-mengaku, sebenarnya kita sedang berada pada tempat yang sangat dalam yaitu mikrokosmos kita yang terletak jauh di dalam hati , sekaligus menjadi tempat yang sangat tinggi karena Sang Maha Tinggi lah yang kita hadapi. Sang Maha Tinggi yang berada di dalam aku sejati mengajak kita untuk menerima dan berdialog dengan aku kita. Ketakutan akan rasa malu dan tidak nyaman ketika konangan - ketahuan sebenarnya bernilai sangat kecil karena pertemuan antara "aku dengan Sang Tinggi" jauh lebih berharga karena pertemuan itu adalah hal yang sesungguhnya, bukan kepura-puraan. Ngakoni sebenarnya juga bentuk penyadaran bahwa selama ini kita terbelenggu oleh sesuatu yang tidak benar, menyiksa, menakutkan. Dalam ngakoni-mengakui, yang tanpak adalah kepasrahan dan penerimaan atas kehadiran Sang Tinggi dalam masa ke depan. Contohnya adalah :pencuri yang mengaku mencuri sebenarnya menunjukkan keberanian yang luar biasa karena dia akan pasrah kepada apa yang akan terjadi sekaligus memunculkan harapan akan rasa belas kasih. Hukuman untuk pencuri yang ketahuan tapi tidak ngakoni pasti akan lebih berat daripada tidak mengakui. Ngakoni juga membawa rasa tenang, damai dan tidak merasa dikejar-kejar. Contoh yang jelas adalah bagaimana seorang pembunuh akhirnya memyerahkan diri dan mengakui kesalahanya kepada polisi sesudah merasa dikejar-kejar arwah korban. Yang mengejar sebenarnya bukan si arwah, tapi "AKUnya "sendirilah yang menuntunya.

Jadi kalau kita "ngakoni-ngaku-mengakui" arti yang sebenarnya adalah aku yang sedang menyang AKU, menuju AKU -Sang Pencipta, dan menyerahkan hidup kita serta mengakui bahwa kita lemah, dengan keyakinan bahwa kasih dari Sang Pencipta akan mengalir, mendamaikan.

sembah nuwun konjuk ing Gusti,





27 Desember 2009

RASA : NGALAH


Pada saat sebelum latihan Reiki, salah satu teman latihan membuat analogi yang menarik tentang kata ngalah yang tidak berarti kalah. kata ngalah disejajarkan dengan kata ngetan yang artinya menyang wetan atau pergi ke Timur, karena wetan artinya timur. Jadi ngalah sama dengan pergi ke Allah. Saya langsung tercenung dengan analogi itu.

Dalam keseharian orang Jawa, yang sekarang sudah sangat jarang terdengar lagi, kata ngalah punya makna mendalam. Seorang kakak diharapkan ngalah kepada adik, "sing tuwa ngalah- yang lebih tua lebih baik mengalah"; juga "wani ngalah luhur wekasane- berani mengalah, kemuliaanlah yang akan diperolehnya". Atau, dalam beberapa situasi muncul kata-kata "sing waras ngalah-yang masih waras akalnya mengalah saja"

Ngalahnya seorang kakak atau seseorang yang sudah tua tidak berarti mengalah dengan kecewa dan dipenuhi amarah sehingga merasa kalah berhadapan dengan adik atau orang yang lebih muda. Berani mengalah adalah kesediaan untuk menerima keadaan dengan keyakinan bahwa yang akan didapatnya pada akhir adalah kemuliaan. Yang masih waras lebih baik mengalah tidak berarti orang lian gila, tetapi sebenarnya mengajak bahwa kita yang masih bisa diberi anugerah bisa beroikir panjang lebih baik merenung dan menerima keadaan. Mengalah juga bisa dipahami sebagai waras - kesadaran tertinggi - bahwa orang yang mengalah sudah merasakan atau memahami apa yang belum dirasakan dan dipahami oleh orang yang lebih muda, jadi bisa dimaknai sebagai memberi kesempatan dan waktu kepada yang muda. Ngalah menjadi tanda menghadap Allah dan mengucap syukur atas apa yang sudah diterimanya sehingga ngalah seharusnya terjadi dalam keadaan bahagia dan penuh suka cita, bukan amarah dan kedukaan.

Sikap ngalah tentu saja tidak selalu menyenangkan karena sering diterima sebagai paksaan ditempatkan sebagai si kalah. Keadaan ngalah juga sering diterima dengan gerutu sehingga sering terdengar ' Yo wiiiiiiiiiis, sing tuwa ngalah- ya sudaaah, saya harus mengalah karena lebih tua!" Atau justru malah menganggap orang yang lain "ora waras - tidak waras alias gila" Bisa jadi juga " aku perlu saiki dadi kenangapa kudu ngenteni tekan wekasane-saya mau sekarang jadi kenapa harus menunggu sampai akhir yang belum jelas" Kesemuanya sebenarnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan sendiri- "mung menang butuhe dhewe". keinginan untuk pemenuhan keinginan sendiri bisa jadi wajar dan manusiawi.

Tetapi, ketika ngalah diterima sebagai pemahaman yang sangat tinggi sebagai kepasrahan dan penyerahan kita kepada Sang Pencipta, mungkin sikap ngalah itu menjadi sangat bernilai. Kepasrahan dan penyerahan kepada Sang Pencipta menunjukkan adanya kepercayaan kepada kuasa Sang Pencipta - Allah sekaligus tanda suka cita bahwa kita sudah diberi banyak hal selama ini dan pada akhirnya ketenangan dan kemuliaan lah yang akan kita terima. Ketenangan dan kemuliaan itu pasti tidak terjadi pada dunia orang mati, tetapi kita rasakan sebagai kedamaian saat ini dan pada waktu-waktu berikutnya pada saat kita kembali ngalah. Sikap ngalah dalam bentuk yang nyata adalah menyang Allah yaitu pada saat kita mati raga berdoa atau bermeditasi atau pada waktu kita menyatukan dunia kecil kita ke dalam dunia besar, mikrokosmos yang menyatu dengan makrokosmos.

Ngalah adalah menyang Allah, menuju Tuhan.

Sembah nuwun konjuk ing Gusti.

19 Desember 2009

WANG SINAWANG


Kanggone wong Jawa, tembung “wang-sinawang” kuwi nduweni makna kang jero. Wang-sinawang tegese padha-padha nyawang antarane A lan B, si A nyawang si B lan si A uga disawang dening si B. Si A nyawang yen uripe si B mesthi luwih kepenak dibandhingke karo uripe dhewe, semana uga si B nyawang yen si A uripe uga luwih kepenak katimbang dheweke. Apa sing disawang ing sanjabane dhewe ketoke luwih kepenak katimbang apa sing dirasakake dhewe.

Ananging kanggone wong sing wis ngerti babagan urip, adate wis mangerteni yen kabeh kuwi mung sawang-sinawang. Upamane, Si A nyambut gawe dadi guru lan si B makarya dadi pegawe kantor. Pakaryan si B bisa bae dianggep luwih kepenak katimbang si A amarga ora kudu mriksa PR murid, sandhange kerja apik, kantore nganggo AC. Ananging si B uga bisa kandha” wah dadi guru kaya A mesthi luwih kepenak, akeh dina prei saengga bisa dienggo plesir karo keluargane. Lha aku iki, pakayan saka kantor kala-kala takgawa mulih lan kudu takrampungake nang omah”.

Konglomerat, saka pangirane tukang becak, mesthi dianggep luwih kepenak, lha apa bae bisa dituku lan dianggo. Sawise nyawang si konglomerat, tukang becak banjur rumangsa yen uripe kok sarwa susah, kuluwarga mung bisa mangan sedina kamangka direwangi nggenjot becak kerja saka esuk tekan bengi.
Ananging, nalika ngerti ana wong sing ngemis lan uripe luwih rekasa, tukang becak banjur krasa yen nyatane uripe isih luwih kepenak katimbang wong sing ngemis. Sing dirasakake mbokmenawa rasa begja amarga isih ana sing dipangan sedina-dina katimbang sing luwih mlarat. “Apa sing dakrasakake isih luwih kepenak katimbang wong kae” mangkono batine.

Konglomerat mbakmawa malah krasa yen “ tukang becak kae uripe kok kepenak temen ya? Bisa turu neng njero becak kamangka nggone turu cilik tur atos, ora kaya aku tansah dioyak-oyak utang bank, ora disenengi dening anak buah, dikiwakake kanca sing ora seneng”. Urip sing taklakoni kok mung kaya mesin,” suarane batine.

Banjur, apa luwih apik yen ora perlu nyawang wong liya? Ora mangkono, Awake dhewe kudu nyawang wong liya supaya ngerti yen apa sing disawang kuwi ana sing apik lan elek, ana sing nyenengake lan gawe susah. Apa kang kasawang kudu bisa dienggo kanggo sinau yen sejatine urip kuwi mung sawang-sinawang. Apa bae sing gawe seneng lan susah kuwi gumantung piye carane ngrasakake seneng lan susah kuwi dhewe. Sega murah sing dipangan neng warung cilik bisa luwih enak katimbang panganan sing ditekakake saka manca yen anggone mangan bener-bener didhasari rasa ngelih. Turu neng njero becak bisa luwih kepenak katimbang nginep nang hotel bintang lima yen pancen ngantuk sing dirasakake. Rasa ngelihe wong sugih lan wong mlarat sejatine padha. Ngantuke wong mlarat padha karo apa sing dirasake konglomerat

sembah nuwun konjuk ing Gusti

JANMA TAN KENA KINIRA




Manungsa ing donya kuwi gumantung saka Gusti. Manungsa mung bisa ngrancang ananging kabeh kuwi ditemtokake dening Gusti. Urip, mati, jodho, rejeki asale saka Gusti, dadi begja-cilakane manungsa kuwi ora bisa dikira-kira, utawa luwih kawentar mawa ukara “janma tak kena kinira”. Ewon malah kepara yutan wong golek pagaweyan, ananging yen durung ditemtokake, ya ora bakal bisa nyambut gawe, dene ana wong sing lagi perlu pagaweyan dumadakan ditawani pakaryan. Lagi butuh panganan dumadakan ditawani panganan. Ana uga sing oleh pacangan sing cocog banget karo kepinginan. Wong sing pinginan ora mesthi bisa nampa apa kang dipinginake. Ana uga wong sing ora tau dianggep ora bisa apa-apa, dumadakan anggepan kuwi kleru amarga wong kuwi mumbul nasibe, malah ajarane ditutake yutan wong. Kabeh kang owah kuwi bisa dumadi, dene apa kang dumadi kuwi ya mung amarga kersane Gusti lan dudu saka pikirane manungsa.

Owah-owahan urip iku ora teka dumadakan ananging butuh wektu, nasibe manungsa dudu barang tiban, kaya lintang tiba saka langit utawa mung kaya nglumahke tangan.
Janma tan kena kinira bisa kawujudan kanthi cara kebak lakon, lan wektune uga suwe. Lakon kang dialami manungsa kuwi apike ora ucul saka cekelan ing uripe manungsa, yakuwi agama lan ajaran bener kang pungkasane tumuju marang Gusti sing gawe urip lang uga nguripi manungsa. Dhidhikan lan tuntunan saka wong tuwa sarta guru yen katindakake kanthi bener , sejatine uga ngarahake manungsa supaya bisa tumuju marang Gusti saengga sawayah-wayah
bisa ngundhuh kamulyan tanpa etungan. Ing carita carangan wayang kulit uga dicritakake kepiye Petruk sing wujude elek bisa ngalahake para dewa ing khayangan. Anggepan yen Petruk kuwi mung batur sing ora duwe daya, bisa owah sanalika. Omongane para dewa sing ngemu ancaman ora kaangep dening Petruk amarga Petruk dadi wong sing menangan.

Wulangan kang bisa dujupuk saka ukara janma tan kena kinira sejatine pituduh yen manungsa aja nglalekake Gusti sing tansah langgeng ing samubarang utawa marang piwulang bener sing ngajarake kabecikan. Ukara kuwi uga minangka tuntunan supaya manungsa ora ngiwakake wong liya. Yen manungsa lali marang Gusti lan piwulang sejati, kuwi tegese manungsa tansah urip ing petengan lan yen urip ing pepeteng, mesthi bae ora bisa ngerti lan ngrasakake endi sing bener lan endi sing kleru, kaya Rahwana sing nganggep Anoman mung saderma kethek lan ora duwe daya. Lan sing dadi pungkasan, Rahwana kalah amarga ngadohi bebener. Para satriya lan malah para dewa uga ngiwakake Petruk amarga wujude sing elek lan kalungguhan Petruk dadi bature para striya, dadi owah. Para satriya lan dewa malah kisinan amarga Petruk ndadekake para satriya lan dewa dadi dolanan, kaya bocah cilik dolanan montor-montoran

sembah nuwun konjuk ing Gusti


18 Desember 2009

AJA BINGUNG


Dalam masyarakat Jawa, ada ekspresi yang sangat umum diucapkan ketika orang lain sedang bingung. "Yen bingung, ndhodhok atau yen bingung cekelan cagak" artinya " kalau sedang bingung, bersimpuhlah, atau kalau bingung pegangi ttiang." Kata-kata itu sering sekali diucapkan sambil tertawa ketika melihat teman lain kebingungan, bahkan menertawakan kebingungan teman tersebut. Kebingungan seseorang itu menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi orang lain karena perilaku orang yang kebingungan tersebut memang terkadang lucu. Si bingung merasa bingung ketika lupa di mana menaruh sesuatu, atau ketika si bingung kehilangan sesuatu.

Tentu saja ekspresi di atas bisa berwarna lelucon saja, bagaimana tidak: "sedang bingung kok disuruh jongkok atau cari pegangan, seharusnya kan mencari yang hilang atau menemukan jawaban. Seharusnya kalian itu membantu saya, bukan menertawakan situasi saya. Tanpa sadar kita mungkin akan bereaksi begini : "Terus, yen ndhodhok utawa cekelan cagak, bakal kelingan utawa nemokake barang sing ilang?" Bagaimana kalau tidak ada cagak atau tiang di dekat saya, lalu saya pegangan apa?

Tapi ada juga yang menyarankan supaya orang yang kebingungan itu ndhodhok dalam arti yang sebenarnya, meskipun tidak berharap betul-betul ndhodhok, Si penyaran mengharapkan si bingung untuk duduk dan mengingat kembali di mana dia menaruh sesuatu atau mencoba lebih tenang supaya bisa menemukan yang hilang itu.

Ndhodhok adalah posisi jongkok atau bersimpuh, dan dalam ekspresi Jawa, ndhodhok memiliki makna yang jauh lebih dalam, jauh lebih spiritual daripada fisikal. Ndhodhok lalu dimaknai dan dikaitkan dengan sikap raga serta jiwa kita terhadap sesuatu yang lebih hakiki, yaitu sikap pribadi kita kepada Sing Gawe Urip atau Gusti sendiri. Sedangkan cagak adalah sesuatu, entah kecil atau besar, yang bisa dipakai sebagai pegangan sekaligus penyangga. Cagak atau penyangga itu sendiri sebenarnya simbolisme dari Sampeyan Dalem, Sang Pencipta, Sing Gawe Urip, Gusti.

Sikap ndhodhok adalah sikap kepasrahan kita terhadap sesuatu, penerimaan kita atas sesuatu yang mungkin akan terjadi tanpa perlawanan dan penolakan, nrimo marang apa kan bakal dumadi. Ndhodhok bisa juga bermakna kekalahan kita atas sesuatu yang terjadi pada diri kita, bukan kekalahan yang memalukan tapi kekalahan karena kesadaran penuh bahwa ada kekuatan kodrati yang sia-sia kalau kita melawannya atau sikap pasrah bongkokan marang adi kodrati kang dumadi. Sedangkan dumadi itu bermakna sesuatu yang memang harus dan sudah kedaden - terjadi dalam kehidupan kita tanpa bisa tolak. Ndhodhok sebenarnya mau mengarahkan kita untuk merenungkan apa yg sudah terjadi dan penyerahan total kembali kepada Sang Pencipta sambil menanti dengan rendah hati bantuan darinya. Ndhodhok tidak lain adalah sikap manembah- menyembah dan manembah sendiri adalah bentuk pengakuan betapa kecilnya kita di hadapan Sang Pencipta. Lalu penyangga yang sungguh-sungguh kuat menahan supaya kita tidak jatuh adalah Sampeyan Dalem Gusti sendiri, bukan manusia atau sesuatu yang lain di luar ilahi. Tiang itu bisa berwujud agama, keyakinan, kesadaran spiritualitas tertinggi, atau apa saja yang mengarah pada keilahian, bukan kesetanan.

Ndhodhok juga pratanda bahwa kta perlu menenangkan diri sesaat, memberi waktu kepada pribadi untuk menemukan jati dirinya ketika kita berada dalam keetidaktahuan, ketidakyakinan serta 'kekalahan'. Merenungkan kembali terhadap apa yang membuat kita kalut akan lebih mudah jika kita masuk dalam keadaan ndhodhok. Sesudah merenungkan, menemukan, dan menyapa jati diri atau pribadi kita, saatnya kita bangun dengan penuh ketenangan karena cekelan cagak, berpegangan pada Sang Penyangga sendiri.


Yen bingung, ndhodhok atau cekelan cagak!
bukanlah kata-kata kosong dengan nada gurau saja, tetapi sesungguhnya bermakna sangat dalam, sangat hakiki. Berapa kali kita ndhodhok ketika kita bingung? Jadi, berterima kasihlah kalau suatu ketika kita mendengar orang lain mengatakan itu, entah sambil tertawa lucu melihat kebingungan kita, atau dengan makna spiritual yang kuat. Biarkanlah kelucuan itu menguatkan kepasrahan kita kepada kekuatan Pribadi Tinggi, Gusti sendiri dengan berucap " Duh Gusti, kawula marak sowan ing ngarsa Sampeyan Dalem kanthi pasrah lan nyuwun pitulungan Sampeyan Dalem".

Sembah nuwun konjuk ing Gusti.








21 Oktober 2009

RASA ; gela dan lega



Kata selalu mengandung makna dan kekuatan, bahkan huruf yang sama bisa sangat berbeda maknanya ketika susunan huruf itu berubah. Perbedaan kata itu bisa sangat tipis, tetapi bisa sangat bertolak belakang maknanya. Susunan huruf TUHAN bisa berkebalikan 180 derajat dengan HANTU. Derajat itu sangat berlawanan fungsi, yang satu menghancurkan dan menyesatkan sementara satunya memberi kedamaian, ketenangan, kebahagiaan.

Ketika gela diperbandingkan dengan lega, pertentangan batin karena makna yang muncul dari huruf tersebut juga sangat kuat. Gela - kecewa, akan mengakibatkan luka batin dan hanya bisa tersembuhkan dengan kekuatan lega - membebaskan beban, menerima segala situasi.

Gela adalah tanda pemberontakan diri atas ketidaksesuaian antara yang diinginkan dan yang terjadi. Tidak tercapai keinginannya untuk memiliki posisi yang tinggi akan melahirkan rasa gela-kecewa. mengharapkan seseorang memberi apa yang diinginkan juga akan memunculkan rasa gela, apalagi gela itu mencapai tahapan kepati-pati, kecewa yang teramat sangat. Gela karena tidak bisa menikahi wanita yang sangat didambakan bisa membawa keputusasaan dan mempertemukan seseorang pada kematian sebagai pembenaran atas 'rasa'nya. 'Paksaan' dari kita terhadap orang lain agar melakukan yang kita inginkan memunculkan rasa gela kita terhadap orang itu, "aku gela amarga dhewekke ora nurut marang aku".

Kecewa bisa jadi muncul kepada diri sendiri dan juga kepada orang lain. Akibat yang nampak atas kecewa terhadap diri sendiri bisa jadi hanya akan melukai diri sendirii. Berbeda dengan akibat kecewa terhadap orang lain, yang ternyata tidak hanya menyakiti diri sendiri tetapi juga menyakitkan pihak lain. Kecewa atas orang lain sebenarnya menimbulkan kecewa pada orang lain itu juga, jadi yang merasa kecewa ternyata menjadi 2 orang. Gela kuwi bisa mbebayani tumrap dhiri pribadi lan pepadha.

Lalu, apa itu gela? Gela adalah tanda pemberontakan atas ketidaksesuaian antara yang diinginkan dengan yang terjadi, sekaligus pengingkaran diri pribadi atas apa yang seharusnya diterima sebagai suatu kepastian. Pemberontakan dan pengingkaran ini pada hakikatnya adalah penolakan kita kepada apa yang diberikan oleh Sang Pencipta, sekaligus rasa tidak menerima atas Sang Pencipta itu sendiri. Pengingkaran itu juga akan tersimpan dalam alam bawah sadar kita dan akan muncul kembali di masa depan ketika sesuatu yang mengingatkan kita pada kekecewaan itu terjadi. Jadi, sebenarnya semakin lama kita merasa gela-kecewa, semakin kuat juga sakit yang kita tanamkan, berlipat-lipat sakit yang akan muncul kemudian.

Pertanyaan yang lain adalah : siapa yang melahirkan gela? orang lain kah yang membuat kita kecewa? Gela itu muncul pada diri kita. "Si A gawe aku gela- Si A membuat saya kecewa" Bisa jadi kita menganggap bahwa gela itu disebabkan oleh orang lain, tetapi siapa yang merasa kecewa? Rasa kecewa itu sebenarnya tetap datang dari kita dan orang lain hanyalah pembenaran dan pantulan atas rasa kecewa yang muncul. Dia hanya memantulkan kembali pemberontakan dan pengingkaran kita sendiri atas apa yang seharusnya kita terima. sama seperti cermin di dinding kamar kita. Justru orang lain lah yang mungkin akan terkena rasa kecewa kita. Yang malah mungkin terjadi adalah cermin itu bisa kita hancurkan karena kita menolak apa yang terpantul di cermin itu, dan itu sama dengan perasaan kecewa dan marah kita kepada orang lain, lalu mengatakan bahwa orang lain lah penyebab kecewa itu., dan bahkan kita bisa menghancurkan hidup seseorang. Kenapa? cermin hanya memantulkan sisi luar yaitu badan manusia, sedangkan orang lain sebagai cermin, tidak hanya memantulkan sisi badan kita tetapi juga bisa memantulkan sisi batin kita. Bisakah kita selalu menerima pantulan sisi batin kita sementara pantulan itu adalah tanda penolakan atas apa yang akan kita terima?

Apakah gela kita berbeda dengan gela orang lain? Apakah kecewa seseorang bisa lebih besar daripada kecewa orang lain? Bisa saja kita mengatakan kecewa A lebih besar daripada kecewa B? Tidak, kecewa semua orang adalah sama, tidak ada yang lebih besar atau yang lebih kecil. penolakan dan pemberontakan atas apa yang terjadi itu sama, rasa itu sama. Besar-kecilnya kecewa hanyalah pembenaran dan bentuk pemberontakan yang lebih besar lagi dari sebelumnya.

Bagaimana melepas rasa gela-kecewa itu? Kita bisa mengubah rasa itu dengan mengubah urutan huruf itu menjadi lega-menerima. Ya, memang mengubah urutan huruf itu lebih mudah daripada mengubah urutan rasa yang sudah terlanjur ada dalam hati kita. Lha wong sedang marah dan kecewa kok disuruh menerima, kalau bisa ya harus membalas kecewa itu ketika "merasa" kecewa itu muncul sebagai akibat perbuatan orang lain.


Lega-menerima sebenarnya adalah bentuk penyadaran dan kesadaran tertinggi untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh pada Sang Pencipta, sesuatu yang akan datang darinya, sesuatu yang lebih berharga dan bernilai dibandingkan penolakan dan pemberontakan, suatu kebenaran-bukan pembenaran. Mengapa kita memaksakan diri punya HP BlackBerry kalau kita hanya perlu untuk menelepon? Bukankah fungsi HP itu utamanya untuk menghubungi seseorang, taruhlah bisa dilakukan dengan SMS dan telp saja? Apakah kta tidak bisa hidup kalau tidak punya BB? tentu kita puas kalau bisa punya BB, tapi kepuasan itu hilang dan berubah menjadi kecewa kalau ada HP jenis baru muncul. Kesadaran tertinggi kita sebenarnya mentakan bahwa HB itu membantu pribadi kita untuk menghubungi pribadi lain, tidak lebih! Lha kalau kita bisa berdamai dengan keadaan itu, maka lega lah kita.

Lega adalah menerima bahwa Sang Pencipta memberi penyadaran dan kesadaran bahwa ada sesuatu yang lebih bernilai dan berharga. Tentu kita ego kita akan menolak dan muncul kecewa kalau orang yang kita harapkan menjadi pasangan ternyata menolak pinangan kita. Barangkali dia menolak karena sadar bahwa kalau menerima pinangan kita, maka kesusahan lah yang akan muncul di belakang hari. Barangkali kita tidak sadar bahwa kita melakukan pembenaran atas ego kita dengan "meyakinkan diri" bahwa kebahagiaan lah yang akan muncul di kemudian hari. Mungkin saja kita menutup hati atas kehendak " Sang Pencipta" bahwa sudah ada seseorang yang disiapkan olehnya. Apakah kita juga akan menyakiti dan membalas kecewa kita terhadap dia? Lalu, apa salah dia karena dia menolak? Lalu, siapa yang sebenarnya salah? Lalu, apakah kita harus mati karena rasa kecewa itu? Ternyata, kita masih bisa hidup walaupun kita tidak hidup dengan orang lain, dan bahkan lebih bahagia. Sia-sialah dan membuang energi saja rasa kecewa kita. Lalu, kenapa kita tidak berdamai dengan penolakan itu saja sejak awal?

Lega adalah menerima dengan sangat sadar keberadaan pribadi kita-pribadi orang lain - dan keadaan. Kalau kita memang harus menjadi korban gempa, sia-sialah kita memberontak terhadap keadaan itu, tak ada gunanya juga meratapi keadaan itu tanpa melakukan sesuatu. Apakah kecewa kita akan memperbaiki keadaan sebagai korban? Apakah kita akan menyalahkan alam padahal kita sadar bahwa kita adalah bagian yang sangat kecil-jagad cilik dari alam semesta- jagad gedhe. Kalau kita menolak itu, sebenarnya kita juga menolak Sang Pencipta karena keberadaan kita adalah karya tangan Sang Pencipta. Kadang kita mendengar kata orang lain bahwa untung hanya rumah yang rusak, untung hanya kaki kiri saya yang patah, dan masih banyak untung-untung lain dibalik kondisi dan bencana itu. Jadi, sebenarnya kita sadar bahwa kita bisa mengubah urutan rasa itu, sama seperti kita mengubah urutan kata gela menjadi lega.

Jadi, berdamailah dengan pribadi diri- pribadi orang lain-dan keadaan.

sembah nuwun konjuk ing Gusti
















18 Oktober 2009

LUKISAN : ada sisi kosong yang harus dilihat!


Salah satu pembelajar yang saya dampingi adalah seorang pelukis Inggris yang tinggal di Ubud, Bali. Dia sudah cukup banyak makan garam tentang bisnis, suka menjelajah banyak negeri, mempelajari yoga dan reiki. Dalam proses kreatifnya menjadi seorang " tukang gambar", dia tidak segan belajar dari banyak pelukis dari banyak negara dengan prinsip " golek banyu apepikul warih- mencari air berbekal air".

Sang pengajar dari si pembelajar memaksa dia untuk memakai kanvas yang besar. Dia langsung saja merasa tidak nyaman. Bagaimana bisa nyaman kalau melukis di kanvas yang kecil saja dia merasa kurang bagus, pasti akan semakin banyak orang yang menertawakan lukisannnya. Kenapa? Kelemahannya akan terlihat lebih nyata pada kanvas besar dibandingkan lukisan pada kanvas kecil. Sang pengajar tidak mau tahu dan si pembelajar tetap harus melukis di kanvas besar itu, dengan pesan, fokuslah pada satu bagian kecil dari kanvas besar itu! Akhirnya dia melukis pada pojok kanvas besar itu, dan tanpa sadar akhirnya dia bisa memenuhi kanvas besar itu dengan lukisan. Sang pengajar menyuruh supaya lukisan itu disimpan sebagai bagian dari proses kreatif si pembelajar.


Langsung saja merasakan energi besar dari cerita si pembelajar itu, nilai sebuah kanvas sebagai kumpulan mikrokosmos yang akhirnya memenuhi makrokosmos, jagad cilik sing ngebaki jagad gedhe.

Pada awalnya melukis pada bagian kecil kanvas adalah awal dari sebuah lukisan besar. Ketika suatu bidang kanvas sedang terisi, tanpa sadar mata kita juga akan melihat bagian besar kanvas yang masih kosong. Memang, perhatian kita tercurah pada sisi yang sedang kita isi dan barangkali melupakan sisi lain yang masih kosong. Tapi pada saat kita mundur dan merenungkan bagian kecil itu, tanpa sadar kita akan melihat sisi kosong lain. Dan pada saatnya nanti, tangan kta akan mengisi ruang kosong itu dengan gambaran lain. Berhenti sesaat untuk merenung dan kembali. Sama halnya dengan hidup yang sedang kita jalani, pada saatnya kita berhenti sejenak, mengamati apa yang sudah kita lukis, lalu kita akan meneruskan kembali lukisan hidup kita. Sama halnya apa yang kita pahami sebagai : hidup itu seperti mampir untuk minum air, urip kuwi mung saderma mampir ngombe. Bidang kosong itu akan kita isi gambaran apa adalah tergantung kita sendiri sebagai pelukisnya. Kita juga lah yang akan memberi warna bagian dan seluruh kanvas itu dengan kata hati kita, harapan kita, mimpi kita, kemarahan kita, ego kita.


Bagian yang sedang kita lukis adalah mutiara hidup, entah itu sisi gelap atau terang, mungkin suka mungkin benci, bisa jadiketulusan atau kemarahan. Apakah bagian kosong yang akan kita gores dengan gambar dan warna harus selaras dan saling mengisi dengan bagian yang sudah tertandai? Apakah bisa terbebas dari segala yang sudah lewat? Kita sendiri sebagai pelukislah yang akan menentukan. Apakah mungkin ada pribadi lain yang mempengaruhi bagian kosong yang akan kita isi? Pribadi kita sendiri juga yang mengarahkan bagaimana sebaiknya kita menerima pribadi lain.

Apakah seluruh kanvas yang kelak terisi penuh lukisan akan terasa indah untuk pribadi lain dan pribadi kita sendiri? Kita serahkan saja pada seluruh pribadi yang sebenarnya terlibat dalam pelukisan itu karena kita tidak bisa memaksa pribadi lain mengikuti kita. Barangkali kita hanya bisa menduga dan berharap, bahwa pribadi lain pun mersakan hal yang sama atas lukisan yang mereka buat sendiri.

Hanya satu hal yang bisa saya rasakan seandainya saya adalah seorang pelukis, berhenti sejenak untuk mengamati dan terlibat pada apa yang sudah saya isi pada mikrokanvas. Berhenti sejenak dan minum air kehidupan dari Sang Pencipta, lalu kembali mengisi bagian kosong lain pada seluruh lembaran makrokanvas saya yang terbentang, polos.




21 September 2009

APAKAH NOL TIDAK BERMAKNA??


Sampai saat ini, dalam hidup saya, beberapa kali saya bermimpi tentang hal yang sama persis. Bahkan mimpi itu berlanjut selama 2-3 hari, sama seperti serial sinetron di TV kesukaan saya.

dalam mimpi itu, saya berenang di sebuah sungai yang panjang. Terus berenang tiada henti, terseret pusaran sebelum melewati jeram, perih karena terbentur batu-batu yang mencuat di sepanjang aliran. Terkadang harus berputar-putar mencari jalan keluar dari bendungan yang luas dan terseret terbawa aliran deras pintu air. Tidak ada kekuatan untuk mengjindari, tanpa daya! Tidak ada orang lain di aliran air itu. Kosong, mlompong!.

Disepanjang sungai selalu saya lihat orang yang saya kenal dan mengenal saya, tapi mereka seolah tidak mendengar panggilan saya padahal mereka sangat dekat dengan pinggir sungai. Mereka seolah tidak melihat saya yang terus berenang dan terus memanggil mereka satu persatu. Entah mengapa saya tidak bisa keluar dari air, ora bisa mentas! Sepi sajroning lan antaraning rame!


Dalam kesepian diantara keramaian itu, saya kembali berenang, terbawa arus air yang semakin kuat, deras dan membuat saya sia-sia menolaknya, Duh Gusti, kawula namung saged ngeli kaseret santering tirta. Lalu pusaran air semakin kuat dan akhirnya saya terbawa sampai muara, terus terhempas gelombang yang menghempas ke pantai dan kembali terseret ombak tinggi ke tengah laut, kembali tergulung dalam lingkaran gelombang, tenggelam dalam kesepian di dalam pusaran. Akhirnya, saya tidak bisa berenag lagi dan meyerahkan hidup pada samudra, hanya bisa mengambang di tengah kesunyian yang sangat senyap, dan bahkan tidak bisa mendengar suara riak air. Semua menjadi hening, dan tidak berdaya sama sekali, menyerah pada apa saja yang akan terjadi. kadya tinilar ing sunyaruri, lan namung saged pasrah dhumateng ingkan badhe dumados!


Pada satu titik, suatu pemahaman baru muncul bahwa NOL, KOSONG, SEPI itu sungguh bermakna menjadi keheningan, wening . Dalam kekosongan itu, Suara Sejati lah yang bergaung dan terdengar jelas dan saya bisa berbicara dengan sangat bebas tentang apa saja yang saya rasakan. Gema yang menggaung tidak menunjukkan adanya kenihilan, tetapi justru mencerminkan kejernihan suasana, ing kaweningan bisa ngenali suara kang sejati . Tong tidak akan bergaung kalau di dalamnya penuh dengan benda-benda, suara yang saya hasilkan akan terserap oleh lapisan-lapisan yang ada pada barang itu dan kita tidak bisa mendengar dengan jernih apa yang saya ucapkan. Sisi-sisi tong akan memantulkan suara saya kembali, bahkan beberapa kali lebih kuat sehingga semakin sadarlah saya atas suara saya. Lidah saya sebagai sumber suara menjadi tidak bisa ditolak lagi kebenarannya, ajining dhiri saka ing lathi tidak terbantahkan lagi justru karena kehampaan dan kekosongan tong itu.

Dalam kesepian yang mungkin sangat menyakitkan, sebenarnya saya bisa merasakan kekuatan yang lain karena justru dalam sepi itu lah sisi-sisi lain dari saya bisa terlihat. Sakit yang muncul menjadi tanda bahwa itu lah pengalaman yang terjadi selama ini, goresan itu menjadi tanda bagaimana saya harus berjuang dan mempertahankan apa yang saya yakini dalam hidup saya selama ini. Dalam-tidaknya goresan menandai kedalaman kekuatan tersembunyi, ke sadaran bahwa kekuatan itu betul-betul anugerah dari Sang Pencipta.

Dalam keheningan samudra hidup-segaraning urip- itu juga, seluruh syaraf masuk dalam keadaan sunyaruri dimana tidak ada batas yang jelas antara manusia dengan Sang Pencipta, alam mikro masuk ke dalam alam makro, jagat cilik lan jagat gedhe nyawiji, manunggal. Cipta dan rasa menyatu dalam gerakan indah dan melambangkan kemegahan hubungan personal antara jagat cilik lan jagat gedhe, menyatunya manusia dengan sang pencipta meskipun sifatnya hanya sesaat , manunggaling Kawula Gusti sanadyan mung saklerapan netra.


Jadi, kenapa harus takut dengan sepi dan kehampaan kalau itu ternyata jauh lebih bermakna daripada keramaian dan kebisingan?


"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H", mari memaknai NOL sebagai kekosongan dan kehampaan yang sangat indah, wening, megah. Dan kita bisa menari bersama dewa-dewi kebenaran sejati.

sembah nuwun konjuk ing Gusti


BERHITUNG II : cara SANG PENCIPTA


Ketika saya mulai mencoba mendalami apa itu agama dan iman, ternyata angka juga muncul dalam pemikiran dan pemahamanan. Mulai dari berapa persen orang yang beragama dan berapa persen dari yang beragama beriman pada satu nama. Juga angka dan pertambahan serta pengurangannya ternyata sangat mempengaruhi bagaimana sekelompok manusia ingin mewarnai kehidupan bernegara dan beragama.

Angka juga kembali bermakna ketika Sang Pencipta dianggap betul-betul berjanji akan melipatgandakan apa yang manusia lakukan pada saat-saat yang dianggap sesuai kehendak Sang Pencipta. Keyakinan itu barangkali berangkat dari kerinduan yanga amat sangat dari manusia atas kasih Sang Pencipta pada saat kita kembali ke rumahnya. Apa yang sudah kita lakukan akan kita harapkan sebagai alat hitung kita supaya semakin tinggi daya tawar kita sehingaga semakin mantaplah hati SangPencipta menerima kita dan kita akan disatukan dengan mereka yang benar-benar sudah berada di rumahnya. Kita akan diterima dan dilayani oleh para sejumlah bidadari karena pemenuhan kehendak Sang Pencipta meskipun itu berarti mengambil hak hidup orang lain. Kita akan disatukan dalam perjamuan abadi karena sudah memenuhi sepersepuluhan yang kita berikan dengan terpaksa kepada sesama.

Ah... barangkali cara berhitung SangPencipta berbeda dengan kita dan justru mungkin sangta berbalik dengan cara kita. Apa yang kita anggap sebagai melaksanakan kehendak Sang pencipta, bisa jadi dianggap rame ing pamrih olehnya karena ternyata kita memang senantiasa menyuarakan dengan sangat keras apa yang sudah kita lakukan, yang ternyata memang hanya sekedar mencari muka kepada Sang Pancipta. Mungkin Sang pencipta justru sedih melihat cara berhitung kita karena brangkali bukan seperti itu yang diinginkannya, tapi kita tetap saja bertindak dengan cara kita berhitung. Bisa jadi perkalian 10 kali lipat yang kita harapkan justru menjadi pembagi 10 kali lipat, sepersepuluh yang kita berikan dan dharapkan sebagai tambahan bisa jadi menjadi sepersepuluh sebagai pengurang kita.

Pada akhirnya, saya justru takut belajar berhitung karena cara saya sangat mungkin berbanding terbalik dengan cara berhitung Sang Pencipta . Apa yang saya anggap sebagai nilai 10 atau 100 bisa jadi malah hanya angka yang tidak bernilai sama sekali, perkalian bisa menjadi pembagian. Mungkin saya lebih baik tidak belajar berhitung dan tidak memakai angka dalam melakukan sesuatu, lebih baik Sang Pencipta saja yang berhitung. Mungkin sebaiknya saya melakukan sesuatu tanpa mengharapkan ada perkalian sebagai cara berhitung, Atau, sebaiknya saya membuat orang lain merasa senang dan bisa membuat mereka tersenyun saja karena senyum tidak ada hubungannya dengan cara berhitung. Atau, mungkin saya lebih baik menganggap apa yang saya lakukan memang seharusnya saya lakukan tanpa pikir apakah itu bisa bermakna sebagai berhitung atau bukan.

sembah nuwun konjuk ing Gusti



14 September 2009

BERHITUNG I : Cara manusia

Ketika saya masih belajar di sekolah dasar, saya diajari apa itu berhitung dengan macam-macam jenis dari menambah, mengurangi, mengali dan membagi. Secara tidak sadar saya mulai diajari kenapa dan bagaimana angka bisa menjadi penentu banyak hal. Angka berapa pun kalau ditambah atau dikurangi nol hasilnya adalah angka itu sendiri, apakah itu 1 atau 2 atau 100 juta kalau ditambah nol ya sama saja nilainya. i atau 10 trilyun dikuarang nol ya sama juga hasilnya. Jadi saya sudah bisa mengerti bahwa nol itu tidak mempengaruhi nilai yang sudah ada. Tetapi saya juga dibuat takjub bahwa angka berapapun kalau dikali nol hasilnya kok nol juga? Tapi saya heran juga kenapa nol tidak bisa dipakai untuk membagi? Akhirnya saya mencoba mengerti meskipun kadang protes dalam hati bahwa nol itu tidak ada arti atau nilai.

Lalu, ketika mulai remaja dan memasuki alam dewasa, pemahaman saya lebih dalam lagi bahwa nol itu sama dengan kosong. Juga semakin sering saya mendengar ucapan " NOL BESAR" untuk meyakinkan oarang bahwa pekerjaan dia tidak bernilai sama sekali, misalnya dalam kata-kata. : "janjimu itu hanya NOL BESAR? atau hasilnya adalah NOL BESAR!" dan lalu nol itu bernilai bohong besar atau sia-sia belaka, tidak bisa diharapkan

Dan saya sering paling suka kata nol ditambah angka 1 didepannya menjadi 10. sebagai nilai tertinggi, jadi kalau saya menjawab benar semua soal tes ya saya akan mendapat nilai 10, atau malah 100 sebagai angka besar. Jadi saya selalu mencari angka 10 atau 100 ketika saya harus mengikuti tes, Teman-teman saya masa kecil juga pasti mengidamkan nilai tertinggi itu karena pasti akan mendapat pujian dari guru dan terutama dari orang tua. Bahkan kalau bisa selalu mendapat nilai itu, semua anak bisa berharap bakal mendapat hadiah pada akhir tahun ajaran karena bisa menjadi juara pertama di kelas. Atau, sesudah saya mengerti bahwa angka nol bisa dipermainkan dengan seenak hati, angka itu menjadi bertuah dan bermakna. Bayangkan hanya dengan menambah angka nol di belakang angka lain nilainya akan berbeda sekali, misalnya harga 10 diberi satu angka nol saja bisa menjadi 100 - apalagi kalai diikuti kata juta atau milyar. Atau sebaliknya, juka saya tidak mau si A mendapat angka 100, maka saya kurangi satu angka nol menjadi 10 dan sayalah yang medapat angka 90.

Ternyata, nol sangat mempesona semua orang kalau angka nol mengikuti angka-angka lain di depannya, dan sekaligus juga menyengsarakan orang ketika angka nol dihilangkan dari angka sebagian dereat angka atau ketika pekerjaan kita dianggap nol.

Pada akhirnya, angka tidak pernah lepas dari berhitung-itung-petung, yang juga bisa dikaitkan dengan untung-rugi atau "bathi-tuna". Bahkan angka matematis itu juga akhirnya menembus dunia metafisika-agama dengan dipakainya penghitungan-petungan hari baik -golek dina becik, ketika akan melakukan sesuatu. Lalu, ketika kita berbuat kebaikan ternyata kita juga mencoba memakai berhitung dengan tanpa sadar juga memaksa Sang Pencipta memberi angka nol. Yen aku tumindak becik aku bakal nampa ganjaran tikel 10 saka gusti- kalau saya berbuat kebaikan, saya akan mendapat pahala 10 kali lipat dari tuhan. Dan hebatnya lagi angka 10 itu lalu menjadi sarana mencari angka yang lain dengan membujuk orang lain mengunduh "kehendak tuhan-kersaning gusti" lewat HP atau smacamnya. Yang jelas untung ya penyedia layanan, dan kita yang mengunduhnya juga diberi impian mendapat angka kali lipat itu. Kabeh bathi tikel 10, semua untung 10 kali lipat.

Keinginan mendapat nilai berhitung dengan angka nol ini, dengan atau tanpa disadari, pada akhirnya membuat manusia mencari muka- golek rai - kepada Sang Pencipta, mencari pamrihnya dengan merayu tuhan dengan seolah-olah memberi tapi mengharap 10 kali lipat. pikiran yang muncul adalah saya memberi 1 karena saya akan mendapat 1 + angka 0 menjadi 10, 1 = 10, 10 = 100 jadi 30 = 300, dan sesudah itu 30 hari saya tidak harus memberi lagi karena 300 sudah dekat dengan 365. Darimana pikiran ini muncul? Jawabannya adalah saya diajari berhitung dari Sang Pencipta, lewat banyak cara tentunya entah itu buku panduan berhitung, buku pendukung berhitung. Apakah betul demikian? Sangat betul kalau kita masih kelas nol besar dan baru saja belajar berhitung. Tanpa sadar juga, justru kita memaksa sang pencipta memakai dasar berhitung kita dan melupakan bahwa dia punya cara berhitung sendiri.

Jadi, mari kita berhitung dengan cara kita dan mengharapkan sang pencipta mengikuti cara kita karena kita sudah membuatnya merasa senang dan terharu. Mari kita beri 1 supaya angka itu berubah menjadi 10 yang akan kita terima...... TRAGIS!

sembah nuwun konjuk ing Gusti





09 Agustus 2009

"Gendhongan " : sisi kemanusiaan Mbah Surip


Dondhong apa salak, dhuku cilik-cilik. Gendhong apa becak, mlaku thimik-thimik............ > Kedondong atau salak, duku kecil-kecil. Mau digendong atau naik becak, jalan pelan-pelan.

Itu adalah lirik lagu yang terkenal ketika saya masih kecil, masa ketika hidup terasa indah dan penuh keceriaan. Ada bentuk penawaran ketika kita merasa lelah berjalan atau terlalu pelan karena langkah kita yang memang masih kecil, yaitu langkah thimik-thimik. Dan, biasanya, anak kecil akan memilih gendongan sebagai cara yang paling nyaman dan enak, kepenak karena bisa merasakan goyangan tubuh dan hembusan angin yang akhirnya meninabobokan dirinya. Angler sebagai tanda memasuki rasa nyaman lah yang terasa ketika berada dalam gendongan. Bahkan ketika anak kecil susah tidur, cara yang biasa dipakai untuk menidurkannya adalah digendhong, bukan dinaikkan ke dalam becak.

Gendong juga bisa bermakna negatif ketika dikaitkan dengan harta kekayaan, "Bandha ngendhong lali", "harta menggendong rasa lupa sebagai manusia". Di balik harta benda, kita menggendong juga perasaan negatif yaitu rasa curiga, rasa merendahkan orang lain, rasa semua bisa dibeli karena punya uang, rasa yang tidak memanusiakan. Konon, orang yang memelihara
tuyul pun selalu menggendong di belakang badannya ketika berjalan untuk mencari mangsa. Jadi, manusia pun bahkan dengan sadar menggendong bangsa setan untuk alasan mencari kekayaan, dan bukankah ini lebih ironis karena manusia justru sengaja menjatuhkan diri pada keinginan melupakan kemanusiaannya?

Gendong juga bisa membedakan orang lain karena alasan pilih kasih, sehingga ada kata-kata "emban cinde emban siladan", menggendong yang satu pakai kain dan mengendong yang lain pakai kulit bambu yang tajam, dan bisa jadi sama dengan menggendong model Mbah Surip dan menggendong model pengebom J.W Marriot atau Noordin M Top. Mbah Surip dengan kemanusiannya ingin menggendong kita supaya kepenak, mantep, dan tidak kesasar karena tidak tahu arah. Dengan kesederhanaannya Mbah Surip menjanjikan bahwa dia bersedia mengantar kita kemana saja karena dia sudah tahu arah yang kita mau tuju. "kene, takgendhong bae- sini, saya gendong aja". Mbah Surip hanya bertujuan emban cinde. Sementara itu, penggendong bom di Marriot pasti berpikir beda dengan Mbah Surip karena bencana lah yang digendongnya, bencana yang mematikan sesama dan bahkan jauh dari tujuan memanusiakan sesama. Dia bisa saja beralasan bahwa dia menggendong kehendak Sang Pencipta, tetapi saya tidak yakin bahwa yang digendongnya adalah kebenaran dan hanya pembenaran saja. Dia emban siladan terhadap sesamanya.

Pada sisi lain, menurut penuturan teman dekatnya, Mbah Surip juga mengatakan bahwa yang sekarang terjadi adalah setan yang menggendong manusia, setan kelebon manungsa-setan kerasukan manusia. Biasanya kita lah yang menggendong setan, seperti halnya memakai pesugihan dengan menggendong tuyul, tetapi sekarang kita lah yang menjadi lebih setan daripada setan sendiri.

seandainya saya bisa menggendong, mungkin saya ingin bisa menggendong seperti Mbah Surip.
"Sugeng marak sowan kondur ing ngarsanipun Sang Pangeran, Mbah. Mugi-mugi Mbah Surip tansah nggendhong sadaya ingkang kepingin ngraosaken angler"

Gusti nyuwun kawelasan


25 Juli 2009

CIPTAAN UNGGULAN : manusia...

Kadang saya masih bingung memakai sebutan untuk manusia, haruskah saya pakai siapa? ataukah saya pakai apa? Apakah manusia berbeda dengan binatang, pohon, laut, langit, bumi karena semuanya toh sama-sama karya dari Sang Pencipta? Atau bisakah saya menyebut binatang dan pohon, lau dengan siapa? Apakah karena manusia diciptakan terakhir kali - sebagaimana pengakuan setiap agama - sehingga dianggap mahakarya dan selayaknya lah ada sebutan yang sangat khusus pula?

Menurut semua agama, baik agama bumi maupun agama langit, manusia disebut sebagai karya akhir dari Sang Pencipta dengan sangat khusus, dengan semua kelebihan dibandingkan dengan karya sebelumnya, bahkan sesuai dengan citra Sang Pencipta sendiri. Kalau benar demikian, sungguh tidak layak kalau manusia disebut makhluk yang celaka, justru sebaliknya harus dipahami sebagai makhluk yang "seharusnya" paling berbahagia.

Bumi, alam semesta, tanah-air, ini diciptakan sebagai tempat yang pertama kali dan bermakna sebagai tempat tinggal manusia karena manusia tidak bisa tinggal di udara atau di air. Artinya manusia perlu sesuatu untuk menetap. Supaya manusia bisa melangsungkan kehidupannya, Sang Pencipta memberi kita binatang dan pohon sebagai bahan makanan. Pada akhirnya kita lah yang diciptakan dengan segala kecintaanya, diberikanlah naluri dan nurani kepada mahakaryanya, melebihi binatang yang, katanya, hanya dibekali naluri. Kenapa manusia diciptakan terakhir kali sesudah semuanya siap untuk kita? Apakah itu tanda bahwa kita lemah sehingga Sang Pencipta menyediakan semuanya sebelum kita dihadirkan sebagaimana bayi yang tidak bisa apa-apa dibandingkan anak binatang? Bahkan, mungkin saking lemahnya kita, Sang Pencipta pun tidak tega memberi cobaan di luar batas kemampuan kita.

Kita juga dibekali akal yang luar biasa bagus sehingga tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi. namun, kadang kita langsung mengatakan bahwa takdir lah yang datang ketika ada tragedi yang sebenarnya bisa kita atasi. Jadi, kadang kita justru merendahkan akal yang kita terima dari Sang Pencipta. Tsunami yang melanda Aceh, sebenarnya sudah terjadi masa sebelunmya dan kita hanya lupa bahwa leluhur sudah membagi pengalamanya kepada kita. Dengan akal itu pula seharusnya kita menjaga bumi, alam lingkungan kita, binatang sebagai tanda tanda terima kasih atas kesediaaan mereka mendahului kita.

Tapi, saya sangat merasa bahwa justru karena kita lemah dibandingkan binatang dan pohon yang kita siksa setiap hari, maka Sang Pencipta sendiri melimpahi kita dengan welas asih, cinta kasih. Kelemahan itu pula yang seharusnya melahirkan rasa tresna-tinresnan, saling mengasihi diantara kita. Sejauh kita saling menyakiti, memandang sesama sebagai orang lain -pepada dadi liyan-, maka sebenarnya itu bukti bahwa kita memang lemah dan hanya mengikuti naluri tanpa mengindahkan nurani, sama halnya dengan binatang - manungsa nanging isih kaya kewan-. Kecintaan Sang Pencipta dengan segala anugerahnya itulah yang justru seharusnya kita pakai untuk saling memanusiakan diri pribadi dan sesama- nguwongke diri pribadi lan pepada, bukannya memaki sesama sebagai binatang.

Hanya saja, manusia kadang sombong dan merasa lebih-rumangsa linuwih-dari semua ciptaan dan menganggap bumi-alam-binatang, bisa kita kuasai sekehendak hati-sakkkarepe dhewe, sewiyah-wiyah. Kalau memang kita adalah mahakarya unggulan dari Sang Pencipta yang bernurani, sungguh tidak layak kalau kita memusnahkan sesama apalagi kalau itu diatasnamakan menjalankan kehendak Sang Pencipta. Sang Pencipta tidak akan pernah menyakiti ciptaanya, apalagi dengan meminta tolong kepada ciptaanya. Kalau demikian, tanpa sadar kita sungguh merendahkan Sang Pencipta sendiri.

Keunggulan manusia sebagai mahakarya Sang Pencipta adalah menyadari segala kekuranganngya dan sangat bergantung pada bumi-alam-binatang-sesama sebagai tanda ketergantungan kita pada Sang Pencipta itu sendiri.

sembah nuwun konjuk ing Gusti







20 Juli 2009

MERASA SEBAGAI tuhan : celaka bag III

"Banda donya kuwi mung sampiran, nyawa kuwi mung titipan" artinya harta benda hanyalah hiasan dan nyawa itu hanyalah titipan. Suatu saat keduanya akan diambil kembali oleh Sang Pemberi tanpa kita tahu kapan terjadinya.

Tgl 17 Juli, pada hari yang biasanya dipakai sebagai hari penyerahan diri kepada Sang Pencipta, beberapa sesama-pepada kita dicelakai dan dipaksa untuk menyerahkan semua itu kepada seseorang yang menganggap mereka adalah orang lain-liyan. Kehilangan dan kematian terwujud dalam sekejap tanpa tanda-tanda kewajaran.

Gedung megah menjadi terpecah, kaca kristal yang memantulkan gambaran manusia yang tidak sempurna terpental menjadi serpihan, kursi berlapis kulit mahal sama sangitnya dengan kulit manusia yang terbakar. Banda donya muspra tanpa rega, harta benda hanyalah hiasan yang berubah menjadi barang tak berharga terbukti sudah.

Anak -bahkan yang baru saja lahir- dipaksa menjadi si celaka karena haknya untuk menyambut bapaknya pulang ke rumah diambil secara paksa. Orang tua mendapat celaka karena anak sebagai buah dari cinta direbut kematiannya. Suami atau istri pun harus menangisi celakanya karena pasangan yang dianugerahkan oleh Sang Pemberi menghadapi maut yang tak terduga. Nyawa kuwi mung titipan dadi yen tekan titiwancine ya bakal dipundhut Sing Kuasa, nyawa sebagai titipan pada saatnya akan diminta kembali oleh Sang Punya'. Para korban itu kita sebut tewas dan bukan wafat. Tewas adalah tanda bahwa kematian itu datang dalam bentuk celaka, bukan kewajaran. Maut menjemput mereka sebelum waktunya karena Sang Hidup tidak akan pernah mengambil nyawa kita dengan cara seperti itu, bukan juga karena bencana benar dari alam. Dudu sakmestine, bukan seharusnya. Mereka tidak akan pernah mendapat sebutan wafat sebagai tanda kembalinya titipan dari Sang Penghias dalam kedamaian dan ketenangan pertemuan kembali dari Si Penerima dengan Sang Pemberi.

Tapi apakah ke"tidakwajar"an ini bisa mendamaikan hati mereka? Apakah mereka bisa menerima kehilangan itu dengan sikap batin yang tenang? Apakah mereka untuk sementara bisa menyikapi apa yang terjadi sebagai celaka?Apakah celaka yang menimpa mereka akan terlupa oleh berjalannya waktu? Apakah kematian karena celaka itu tidak membuat mereka benci dan mendendam ? Pada satu titik, kehilangan harta benda oleh si pemilik di dunia ini bisa diterima sebagai bentuk ke"pasrah"an karena pengertian bahwa banda donya kuwi mung sampiran. Demikian juga halnya tewasnya sebagian keluarga mereka karena 'cilaka-celaka" itu pada saatnya akan disadari sepenuhnya dalam bentuk "nrimo-menerima".

Lalu, bagaimana dengan sang algojo? Apakah dia akan mendapat sebutan wafat atau bahkan gugur karena meyakini bahwa tindakannya adalah"pembenaran" yang harus dijalankan sebagai tugas menegakkan kebenaran? Bisa jadi dia akan mendapat gelar itu karena 'keluarga baru mereka' menganggap bahwa dia harus memperingatkan orang lain-liyan sebagai ketidaksamaan dengan keberadaannya," mereka adalah bukan kita" jadi harus diingatkan bahwa kita ada. Sang Algojo barangkali tidak akan dituduh sebagai pembuat celaka. Hebatnya, dia akan mendapat dua sebutan sekaligus - si pembuat celaka dan si berjasa. Barangkali jasa terbesarnya adalah dia melaksanakan keyakinannya sebagai tugas mulia dari Tuhan. Atau bahkan tanpa disadarinya dia merasa sebagai tuhan- Sang pemberi, karena dia merasa berhak mengambil.

Kematian sang algojo juga sama saja disebut tewas dan tidak pernah disebut wafat jika dilihat dari uraian makna kata. Mungkin saja dia justru celaka tiga kali karena celaka ikut tewas, celaka karena dia merasa sebagai tuhan atau, dan celaka lainnya karena bisa jadi tidak akan diterima oleh Sang Pencipta sebab mengaku melaksanakan kehendak Sang pencipta.

Apakah memang mereka - si semua korban celaka - sudah sampai waktunya menerima itu semua karena Sang Pemberi sudah meminta kembali semua hiasan dan titipannya? Kalau memang betul seperti itu, pastilah mereka layak menerima sebutan celaka. Kalau pun demikian adanya, lalu apakah kita akan mengatakan bahwa Sang Pemberi dan Sang hidup itu bertindak sewenang-wenang? Kalau kita merasa seperti itu, kita juga akan menjadi si celaka juga karena berani menuduh Sang Pemberi-Sang Hidup seenak kita.

Saya tidak berani mengatakan apakah saya berani bersikap demikian? Yang pasti saya adalah orang yang paling celaka kalau saya merasa sebagai tuhan.

Gusti nyuwun kawelasan..

08 Juli 2009

MICHAEL JACKSON: Makhluk yang celaka bag II

Belakangan ini istri Boediono sang calon Wapres ( dan sepertinya sudah pasti jadi wapres baru) dianggap bukan beragama sama dengan kebanyakan manusia di negeri ini oleh sebagian orang.

Juga yang teranyar adalah kabar dari burung yang tidak jelas nama dan bentuknya bahwa si Michael Jackson sudah memeluk agama baru. Dan tentu saja kabar dari sang "burung entah" ini dianggap membawa berkah bagi mas Jackson karena terlepas dari celaka api neraka sesudah dia meninggal. Lha bukti yang dipakai adalah adalah kabar dari "burung tidak bernama" itu adalah bahwa sang legenda menyanyikan lagu pujian kepada Sang Pencipta. Kabar ini tentu saja dipuji oleh para "pembimbing rohani di TV" yang dengan wajah terharu dan bahagia lalu menyampaikannya kepada kita semua.

Apakah istri Boediono dan Pak Boed sendiri bahagia dengan kabar ini? Mungkin saja TIDAK karena cerita kosong ini justru bisa mencelakakan pencalonan Pak Boed. Bisa Jadi para team sukses akan berkata dalam hati " celaka deh..., bisa-bisa ini menjadi senjata ampuh untuk menggagalkan proses persaingan" Tentu saja kabar burung tentang keyakinan Bu Boed sengaja dibuat untuk mencelakakan pak Boed sehingga Pak Boed dianggap tidak layak menjadi manusia nomer 2 di republik ini,padahal bisa jadi keyakinan Bu Boed sungguh menentramkan hati, dan juga sangat dicintai oleh Sang Pancipta.

Apakah Mas Michael juga bahagia meskipun dia sendiri tidak merasakan apa-apa lagi karena sudah meninggal? Saya tidak tahu apakah mereka yang sudah meyakini bahwa mas Michael tidak pindah keyakinan juga MASIH AKAN TETAP didoakan menurut keyakinan orang yang sudah menerima kabar angin itu. Bisa jadi Mas Michael akan menjadi orang yang lebih celaka di akherat sana karena ternyata keyakinannya adalah musuh besar beberapa keyakinan di bumi ini, saksi Yehovah.

Inilah hebatnya manusia! Lagi-lagi Sang Pencipta dipermainkan sekaligus dipermalukan oleh ciptaanya sendiri. Kenapa manusia begitu mudahnya mencelakakan manusia lain karena berbeda dan "DIANGGAP" berbeda? Apakah Bu Boed dianggap bukan manusia yang sama dengan sebagian orang sehingga Pak Boed juga harus menerima getahnya? Manungsa kuwi apa pancen senenge gawe cilaka marang liyan? Apakah Sang Pencipta memang mengharapkan tiap ciptaanya bersifat dan harus membedakan manusia lain?

Punapa leres Gusti ngripta jalma manungsa ingkang benten punika inggih supados para jalma ugi mbenten-mbentenaken? Benarkah Yang Di Atas menciptakan manusia yang berbeda ini supaya manusia juga membedakan manusia lain? Kalau memang benar demikian, lalu apa artinya "NGUWONGKE" alias MEMANUSIAKAN? Apakah setiap pribadi berbeda ini tidak dianggap manusia sehingga harus dimanusiakan? Kalau demikian, memang benar-benar celaka lah Mas Michael dan Pak dan Bu Boediono. Lalu, apa arti Wong 'urip' kuwi kudu tresna-tinresnan marang PEPADA? Manusia yang hidup itu harus saling mencintai SESAMANYA. Kenapa kata 'pepada-sesama' hanya dilekatkan kepada orang yang segologan dan memakai kata "LIYAN", "orang lain" dilekatkan pada manusia yang berbeda dan dianggap berbeda? Apakah 'Liyan' dan bukan ' pepada' harus dicelakai sekaligus dicelakakan?

Tanpa sadar mungkin kita sudah mencelakakan Sang Pencipta sendiri karena sudah menciptakan manusia yang memang sudah direncanakan berbeda olehnya. Lalu sebenarnya, siapa kah yang celaka? Kita yang merasa sama terhadap mereka yang berbeda atau mereka yang merasa sama terhadap kita yang berbeda? Atau semuanya adalah si celaka?
Mungkin saja kita lebih senang mengatakan mereka lah yang celaka> Dan, saat itu juga kita lupa bahwa mereka yang berbeda dalah ciptaan dari YANG SAMA DAN SATU.

Saya mungkin hanya berani berbisik kepada Bu Boediono lewat burung yang membawa kabar: "Bu, saya sangat berbahagia karena Anda sudah diciptakan secara khusus oleh Sang Pencipta untuk memperindah keberagaman manusia di republik ini" Dan pasti saya juga hanya berani menitip kata lewat angin yang berhembus lembut : " mas, temuilah Sang Pencipta secara khusus karena Anda tidak termasuk orang yang celaka". Sekaligus menitip pesan kepada Sang Pencipta untuk menguatkan kami yang masih celaka di dunia ini untuk lebih memaknai dan mencintai "pepada - sesama" daripada mencelakai "liyan - orang lain".

10 Mei 2009

MANUSIA : makhluk yang celaka? bag I

Akhir-akhir ini, saya melihat bagaimana caleg gagal mengalami goncangan jiwa, ada yang mengambil kembali umpan yang sudah diberikan kepada "calon mangsa"nya. Ada yang lebih tragis lagi : mereka yang dulu kita lihat dan dengar sebagai Yamadipati malah bergandengan mesra dengan mereka yang akan dicabut nyawanya. Lalu sebagian dari kita pun di'paksa' memaafkan mereka dan malah manut saja diminta mengantar mereka ke kamar 'eksekusi kita kelak selama lima tahun'

Sementara itu, saya lihat juga di TV ada harimau di Sumatra yang "memangsa" manusia karena sang harimau kelaparan. Mungkin dia tidak tahu bahwa itu adalah manusia, bukan binatang yang biasanya menjadi mangsanya.

Lalu munculah pertanyaan dalam hati saya : apakah manusia memang makhluk yang celaka? Mungkin saya berlebihan karena pasti ada manusia yang tidak merasa celaka alias manusia yang bahagia, sama halnya dengan binatang yang mati secara wajar dan tidak menjadi kurban para pemangsa. Benarkah kita tidak pernah celaka? Saya kadang-kadang (serasa lebih yakin daripada saya merasa SERING) celaka, baik celaka besar atau celaka kecil. Kalau keinginan saya tidak tercapai saya merasa kecewa, jengkel, marah, dll. Sadar atau tidak sadar, merasa atau tidak, kecewa dan marah adalah bentuk lain dari merasa celaka. Dan tidak ada manusia pun yang tidak pernah merasa kecewa, jengkel atau marah dalam hidupnya. Sama halnya dengan mereka yang 'merasa dikalahkan' dalam pesta demokrasi kemarin dan langsung mencak-mencak mau ini lah..., mau itu lah.... sementara kita pun dikibuli oleh mereka (tetapi anehnya tidak merasa kalau 'dicelakai' parpol-parpol). Naluri lah yang akhirnya menuntun manusia bereaksi, dan reaksi itulah yang memunculkan 'celaka' karena naluri adalah sebagian dari nurani.

Dalam diri harimau, apakah dia jahat karena memangsa makhluk luhur karya SANG PENCIPTA? Apakah dia juga akan 'celaka', entah di dunia ini atau di dunia sana karena memangsa manusia padahal manusia bukan jatah makanannya? Apakah dia melanggar hukum dari SANG PENCIPTA? Apakah manusia disebut jahat karena 'memangsa' manusia lain padahal manusia punya nurani atau tidak jahat karena tindakannya juga berdasarkan naluri atas 'celaka' yang menimpanya? Harimau juga makan anak harimau dalam situasi tertentu, terutama harimau jantan yang hendak mengawini betina yang sedang menyusui anak dari pejantan lain. Itu juga karena naluri? Binatang bergerak berdasarakan naluri dan itu lah yang menghidupkan mereka. Binatang tidak hendak akan menyerang binatang lain atau manusia kalau mereka tidak merasa terancam. Binatang membunuh sesamanya juga didasari oleh kebutuhan dan keharusan untuk bertahan hidup -"macan mangsa mangan suket" , tidak menimbun makanan karena bukan untuk memenuhi hasrat makan di luar batas. Binatang makan secukupnya saja, "sakmadya"

Sebaliknya, manusia bisa saja langsung 'memangsa' sesamanya tanpa bisa diduga "janma tan kena kinira" Beskap yang tampak indah dari muka mengandung bahaya besar pada keris yang tersembunyi di belakangnya. Keindahan sebagai bagian dari nurani ternyata dipadukan dengan 'naluri', naluri sebagai makhluk hidup setara binatang dan tumbuhan

Keinginan yang tak tercapai bisa memunculkan kesusahan dan kesialan, kesusahan dan kesialan itu lalu ditanggapi sebagai celaka. Kadang manusia memusnahkan keberadaan sesamanya karena takut tersaingi, dan rasa tersaingi juga cerminan dari ketakutan yang pada dasarnya adalah kesusahan, celaka.

Ketakutan pada binatang mungkin tidak didasari oleh kekuatiran bahwa dia akan celaka oleh sebab ketakutan itu. ketakutan mereka bisa saja hanya naluri yang tiba-tiba muncul sebagai bentuk menghindar dari bahaya. Sementara ketakutan manusia tidak hanya sebagai naluri tetapi juga nurani bahwa kalau ketakutan itu berwujud, maka rasa yang muncul kemudian adalah rasa 'celaka'. Jadi, ketakutan binatang lebih bersifat adanya bahaya tetapi ketakutan manusia didasari bersifat sadar akan ada bahaya dan kesadaran akan adanya rasa 'celaka' di kemudian hari.

Lalu, makhluk celaka kah manusia?







15 Maret 2009

KITA DITAKDIRKAN MENCARI?


Ketika saya menginginkan sesuatu, saya pasti akan mencarinya, kadang dengan enak hati namun kadang dengan pemaksaan diri. Dengan enak hati artinya ora ngaya lan ngupaya kanthi lega lila, tanpa beban, rela melakukannya. Tapi tidak jarang saya harus memaksakan diri disertai melibatkan semua emosi : ketakutan atas kehilangan, kecewa, marah, dendam, penasaran. Keduanya sebenarnya akan bermuara pada harapan tercapainya keinginan itu.

Ora ngaya berarti menjalankan pencarian itu dengan ketenangan hati, menyandarkan pada waktu dan proses yang terjadi alamiah, dan berakhir pada pemahaman yen wis tekan titiwancine ya bakal kelakon- kalau sudah waktunya, ya akan tercapai dengan sendirinya. Ngupaya kanthi lega lila tak lain adalah perwujudan berusaha dengan menyerahkan semuanya kepada kehendak Yang Kasih, sumarah pasrah marang Gusti Ingkang Welas Asih. Tidak hanya menyerahkan waktu yang akan menyelesaikan, tetapi juga berusaha dengan sadar dan tenang dalam mencarinya. Kedua pencarian ini sepertinya sudah mendarah daging di hati kita dan terlepas dari agama yang sudah melingkupinya. Agama bisa jadi hanya melengkapi sikap batin manusia jawa. Mungkin ini adalah salah satu wujud dari pemahaman leluhur atas nilai “ golekana tapake kuntul nglayang, golek banyu apepikul warih” “ yang bermakna carilah bekas tapak bangau yang terbang, mencari air dengan berbekal air”. Pencarian tanpa ngaya lan lega lila sebenarnya mencerminkan sudah adanya pemahaman sederhana atas nilai “golek-mencari”.

Kalaupun tidak mendapatkannya, mungkin kita bisa tetap tersenyum dan bahkan malah menerimanya sebagai anugerah atas keberhasilan kita dalam upaya mencari. Legalila nampa sanajan ora kelakon”. Manungsa kuwi mung saderma titah, ya mung pasrah kersaning Allah ”

Lain waktu, saya memaksakan diri dalam mencapai sesuatu untuk memenuhi keinginan diri pribadi. Alasannya bisa karena ketakutan atas gagalnya mencapai keinginan ( dan ketakutan itu pun bisa berawal dari berbagai alasan). Kadang juga pemaksaan itu didasari ketidakpuasan, kebencian yang mendendam, kekecewaan. Pada keadaan ini, yang muncul adalah pembenaran dengan “golek bener, golek wah, golek menange” yang ekstrimya masih ditambahi “dhewe’ menjadi “golek benere lan menange dhewe, lan golek wah- mencari pembenaran untuk sendiri, mencari kelemahan orang lain serta mencari muka ”.

Pasti dalam mencari itu, mata hati dan mata batin terhadap orang lain ditutup, bukan tertutup. Egonyalah yang bicara. Tanpa sadar, yang sebenarnya didapatkan dalam mencari itu adalah “menemukan”, yaitu menemukan luka batin terhadap diri pribadi dan diri orang lain. Tapi karena masih didasari ‘golek menange dhewe’. luka itu juga dianggap sebagai hambatan dari luar dan semakin memaksa saya untuk lebih mencari secara memaksa. Kalau pada akhirnya tidak tercapai, saya akan mencari pelampiasan dan kembali mencari ‘golek benere dhewe’yang juga disertai dengan pembenaran.

Ke mana sebenarnya saya harus mencari? Apakah saya memang harus terus mencari baik dengan legalila lan narima? Atau harus dengan ngaya lan maksa? Apakah sebaiknya saya tidak harus mencari? Apakah apa yang saya cari sebenarnya sudah ada dan hanya tidak terlihat, tidak terasa, dan tidak teraba?

Mungkin saya lebih baik bertanya siapa SAYA? Apa yang saya CARI?

06 Maret 2009

MEMAKNAI KEMBALI KURBAN


Dalam kebingungan mencari makanan di warung pada saat hari raya kurban, saya sempatkan menonton TV tentang kegiatan pada hari itu dengan harapan bisa melihat wajah-wajah berseri kaum papa yang akan menerima cinta Sang Pencipta.

Sekilas raut bersinar tampak pada beberapa sosok manusia yang diaggap papa oleh sekelompok manusia lain karena perbedaan kebendaan yang melekat pada dirinya. Terlihat pula sekelumit senyum penuh syukur atas berkah dari Sang Pencipta yang diterimanya pada hari itu.

Pada satu titik, saya terhenyak dan tidak bisa mengerti atas apa yang saya dengar dan saya lihat dari kaca itu. Wajah-wajah polos itu berubah menjadi tidak menentu ketika berkah yang (mungkin) diharapkannya itu. Wajah polos itu tiba-tiba berubah menjadi wajah beringas ketika terjadi saling paksa untuk mendapatkan yang mungkin bukan menjadi HAKnya. Lalu atas nama hak itu pulalah wajah itu kembali berubah bentuk menjadi wajah cari untung, rona cari selamat, sinar cari aman, cahaya cari korban baru. Si papa ditempatkan sebagai tempat cari untung dengan dikondiskan secara“sukarela” menjualnya kepada pedagang dengan nilai seperampatnya. Si kurus “membiarkan” dirinya diinjak oleh si kuat. Si kecil “lebih baik” menyingkir daripada disikut oleh si besar. Si sakit “ diajari” lebih sakit dengan sekerat hati yang bercacing.

Makna KURBAN dalam bahasa Arab yaitu “persembahan kepada Tuhan atau pemberian untuk menyatakan kesetiaan atau kebaktian” berubah menjadi induk kata yaitu KORBAN sebagai "orang atau binatang yang menderita atau mati akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya”. Wajah-wajah yang seharusnya menjadi tanda sukacita atas kesetiaan dan kebaktian itu meronta menjadi wajah memelas, wajah yang disakiti. Wajah atas tindakan kejahatan. Wajah KORBAN. Hewan sebagai lambang kesetiaan dan kebaktian manusia atas anugerah Sang Pencipta tiba-tiba bermakna sebagai binatang sebagai penyebab ketidakadilan manusia atas manusia lain.

Korban yang berasal dari akar kata Ibrani KAROV dengan makna "[datang] mendekat [kepada Allah]” ternyata bisa juga “diterjemahkan” menjadi “[pergi) menjauh [dari Allah] karena “akal budi manusia” yang berubah menjadi “akal-akalan manusia”. Petunjuk para nabi bahwa kurban sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta yang harus disertai moralitas dan kebaikan dari dalam diri manusia itu sendiri diterima sebagai bentuk pengingkaran kepada Sang Pencipta diiringi kepentingan si kuat terhadap si tak berdaya, ketidakadilan terhadap si papa atas hasrat si punya.

Pastilah tidak semua manusia melakukan hal itu. Saya sangat yakin masih banyak kebenaran dan bukan pembenaran atas makna Kurban yang sangat menyentuh sisi hati yang mencintai terhadap yang dicintai. Masih juga terlihat ketulusan yang menyentuh dari si berkehendak baik kepada si penerima syukur yang berharap dengan murni. Tampak pula senyum penuh kasih dari yang terpanggil untuk berbagi dengan tawa bahagia dari yang diundang untuk berhak berbagi.

PEMBEDAAN YANG MEMBINGUNGKAN

Pada suatu hari saya merasakan ada sakit yang sangat kuat pada gigi saya sehingga memaksa saya untuk menghadap bor-bor kecil dari dokter gigi yang sangat ternama di ujung Barat negeri ini.

Saya mencoba datang sedikit awal dengan harapan segera terbebas dari sakit tapi apa lacur, saya harus menulis nama untuk menghadap sang dokter 2 hari kemudian dengan dengan tambahan kata-kata dari sang penulis daftar bahwa ada ketidakpastian jam berapa di tengah malam saya bisa menerima hunjaman ujung bor-bor itu. Mati lah awak ni…!!

Tapi rupanya nasib baik berpihak pada saya. Dengan bahasa daerah yang saya dan sang penulis bawa di rantau, saya bisa langsung menghilangkan rasa sakit itu. Dalam hitungan menit saya bisa langsung ditangani sang dokter!! Ajaib !!

Saya dianggap berbeda dengan pasien lain karena kesamaan asal sang penulis sekaligus dengan sedikit rasa kasihan atas penderitaan saya. Jadi pembedaaan itu menyelamatkan saya…. Dan saya sangat tidak menyesali bahwa saya berbeda dengan orang lain.


Keesokan siangnya, saya mencoba kesaktian sang dokter dengan menyantap kare kambing kesukaan sekaligus lambang kelahiran saya. Lahap sekali saya menghabiskan semangkuk dan dengan gagah saya kunyah daging kambing itu. Tetapi, ketika saya membayar harga makanan itu, saya jengkel sekaligus bertanya-tanya. Lha ya jengkel karena harga kesenangan saya dibedakan dengan orang lain yang sebahasa dengan sang penjual. Tidak banyak memang perbedaan yang diambil sang penjual , mungkin tidak sebanyak yang diambil para wakil kita di Jakarta. Pembedaan lah yang saya rasakan sebagai ketidakadilan yang terjadi atas diri saya. Tentu saja saya bersungut sungut sambil ngebut pulang.

Tiba-tiba saya teringat bahwa “ wah ….!! Kemarin kok saya berbahagia atas pembedaan yang menyenangkan ya? Kenapa sekarang saya berontak dengan pembedaan yang saya alami? Akhirnya saya tertawa dalam hati dan mencoba menerima dengan damai bahwa memang ada perbedaan dan sekaligus pembedaan. Mungkin saya harus bisa lebih belajar bahwa ada pembedaan yang membahagiakan dan juga ada pembedaan yang menyengsarakan sekaligus

SURGA DAN NERAKA

Ketika kecil, saya sering mendengar cerita dengan sangat takutnya bahwa ada tempat yang selalu sangat panas tak berkesudahan. Tempat dimana orang terbakar sampai habis dan kembali utuh untuk kembali terbakar sebagai balasan atas kesalahan yang dilakukannya selama hidup. Tapi, saya juga takjub dengan cerita tempat yang lain yang penuh dengan bunga, madu, dan selalu ada bidadari. Aaaah, saya juga bisa berbicara dengan binatang buas tanpa rasa takut karena cinta yang senantiasa ada di sana.

Konon, tempat itulah yang dikenalkan sebagai neraka dan surga, tempat saya akan tinggal sesudah meninggalkan kehidupan yang tiada kekal di bumi. Dan saya sendiri yang menentukan harapan mau tinggal di mana, dan juga tentu dengan penuh harapan ( atau paksaan) bahwa Yang Kuasa mengabulkan keinginan untuk tentu saja tinggal bersama bidadari, bercengkerama dengan harimau dan senantiasa dikenyangkan dengan kemewahan dan keindahan.

Ah, keinginan itu sangat kuat sehingga saya mengarahkan seluruh kemampuan yang kadang dipaksakan kebenarannya dan sekaligus membenarkan daya upaya saya untuk mencapai tempat itu kelak kemudian hari sesudah saya mati. Janji itu sangat manis sehingga tanpa sadar saya menciptakan tempat berapi untuk sesama saya selama dan di dalam hidup mereka di sini.

Ah, akhirnya pada satu titik saya merasa bahwa kesia-siaan sajalah yang saya dapatkan kalau saya selalu mengarahkan mencapai surga dengan menciptakan neraka bagi sesama. Apakah memang surga hanya ada di dunia sana? Adakah neraka dunia? Apakah surga di dunia hanya dibatasi pada kesenangan syahwati dan kebendaan saja? Apakah saya bisa merasakan sekaligus berbagi kedalaman kebahagiaan yang sangat bagi pribadi saya dan orang lain? Apakah ini masih belum bisa disebut surga yang sebenarnya ketimbang surga dalam impian dan harapan? Apakah Yang Kuasa memang hanya menentukan bahwa surga dan neraka hanya ada sesudah kita menghadapnya melewati kematian?

Tidak bisakah kita menghadap sekaligus merasakan kebahagiaan dan kesengsaraan dalam nafas kita saat ini? Tidak berada dalam surgakah ketika saya dan sesama saling berbagi memberi energi dan kedalaman cinta yang tulus sehingga semua baik adanya? Bukan surgakah ketika kedamaian yang dalam senantiasa melingkupi diri dan sekaligus memancarkannya ke luar?

Apakah saya sudah berada dalam neraka ketika tidak bisa terlepas dan selalu terkungkung dalam kesengsaraan yang mengalir dari dalam diri dan juga mengalirkannya kepada sesama sehingga benar-benar menyiksa seluruh denyut nadi dan nafas diri dan pribadi di luar saya?

Apakah bukan pembenaran atas pemaksaan kita terhadap Yang kuasa ketika saya meminta setengah paksa bahwa yang kuasa memberi pahala untuk kita kelak ketika melewati dunia mati?

Apakah memang Yang Kuasa menutup mata atas pembenaran dan kebenaran atas apa yang kita lakukan? Apakah memang yang Kuasa sedemikian bodoh kita tipu dengan pembenaran dan kebenaran yang terjadi?

Ah, kadang saya merasa sangat egois ketika saya mengharapkan balasan dari Yang Kuasa atas semua surga yang saya lakukan di dunia sementara nerakalah yang sebenarnya saya ciptakan.

Di manakah surga dan neraka sebenarnya ada?