18 Oktober 2009

LUKISAN : ada sisi kosong yang harus dilihat!


Salah satu pembelajar yang saya dampingi adalah seorang pelukis Inggris yang tinggal di Ubud, Bali. Dia sudah cukup banyak makan garam tentang bisnis, suka menjelajah banyak negeri, mempelajari yoga dan reiki. Dalam proses kreatifnya menjadi seorang " tukang gambar", dia tidak segan belajar dari banyak pelukis dari banyak negara dengan prinsip " golek banyu apepikul warih- mencari air berbekal air".

Sang pengajar dari si pembelajar memaksa dia untuk memakai kanvas yang besar. Dia langsung saja merasa tidak nyaman. Bagaimana bisa nyaman kalau melukis di kanvas yang kecil saja dia merasa kurang bagus, pasti akan semakin banyak orang yang menertawakan lukisannnya. Kenapa? Kelemahannya akan terlihat lebih nyata pada kanvas besar dibandingkan lukisan pada kanvas kecil. Sang pengajar tidak mau tahu dan si pembelajar tetap harus melukis di kanvas besar itu, dengan pesan, fokuslah pada satu bagian kecil dari kanvas besar itu! Akhirnya dia melukis pada pojok kanvas besar itu, dan tanpa sadar akhirnya dia bisa memenuhi kanvas besar itu dengan lukisan. Sang pengajar menyuruh supaya lukisan itu disimpan sebagai bagian dari proses kreatif si pembelajar.


Langsung saja merasakan energi besar dari cerita si pembelajar itu, nilai sebuah kanvas sebagai kumpulan mikrokosmos yang akhirnya memenuhi makrokosmos, jagad cilik sing ngebaki jagad gedhe.

Pada awalnya melukis pada bagian kecil kanvas adalah awal dari sebuah lukisan besar. Ketika suatu bidang kanvas sedang terisi, tanpa sadar mata kita juga akan melihat bagian besar kanvas yang masih kosong. Memang, perhatian kita tercurah pada sisi yang sedang kita isi dan barangkali melupakan sisi lain yang masih kosong. Tapi pada saat kita mundur dan merenungkan bagian kecil itu, tanpa sadar kita akan melihat sisi kosong lain. Dan pada saatnya nanti, tangan kta akan mengisi ruang kosong itu dengan gambaran lain. Berhenti sesaat untuk merenung dan kembali. Sama halnya dengan hidup yang sedang kita jalani, pada saatnya kita berhenti sejenak, mengamati apa yang sudah kita lukis, lalu kita akan meneruskan kembali lukisan hidup kita. Sama halnya apa yang kita pahami sebagai : hidup itu seperti mampir untuk minum air, urip kuwi mung saderma mampir ngombe. Bidang kosong itu akan kita isi gambaran apa adalah tergantung kita sendiri sebagai pelukisnya. Kita juga lah yang akan memberi warna bagian dan seluruh kanvas itu dengan kata hati kita, harapan kita, mimpi kita, kemarahan kita, ego kita.


Bagian yang sedang kita lukis adalah mutiara hidup, entah itu sisi gelap atau terang, mungkin suka mungkin benci, bisa jadiketulusan atau kemarahan. Apakah bagian kosong yang akan kita gores dengan gambar dan warna harus selaras dan saling mengisi dengan bagian yang sudah tertandai? Apakah bisa terbebas dari segala yang sudah lewat? Kita sendiri sebagai pelukislah yang akan menentukan. Apakah mungkin ada pribadi lain yang mempengaruhi bagian kosong yang akan kita isi? Pribadi kita sendiri juga yang mengarahkan bagaimana sebaiknya kita menerima pribadi lain.

Apakah seluruh kanvas yang kelak terisi penuh lukisan akan terasa indah untuk pribadi lain dan pribadi kita sendiri? Kita serahkan saja pada seluruh pribadi yang sebenarnya terlibat dalam pelukisan itu karena kita tidak bisa memaksa pribadi lain mengikuti kita. Barangkali kita hanya bisa menduga dan berharap, bahwa pribadi lain pun mersakan hal yang sama atas lukisan yang mereka buat sendiri.

Hanya satu hal yang bisa saya rasakan seandainya saya adalah seorang pelukis, berhenti sejenak untuk mengamati dan terlibat pada apa yang sudah saya isi pada mikrokanvas. Berhenti sejenak dan minum air kehidupan dari Sang Pencipta, lalu kembali mengisi bagian kosong lain pada seluruh lembaran makrokanvas saya yang terbentang, polos.