15 Maret 2009

KITA DITAKDIRKAN MENCARI?


Ketika saya menginginkan sesuatu, saya pasti akan mencarinya, kadang dengan enak hati namun kadang dengan pemaksaan diri. Dengan enak hati artinya ora ngaya lan ngupaya kanthi lega lila, tanpa beban, rela melakukannya. Tapi tidak jarang saya harus memaksakan diri disertai melibatkan semua emosi : ketakutan atas kehilangan, kecewa, marah, dendam, penasaran. Keduanya sebenarnya akan bermuara pada harapan tercapainya keinginan itu.

Ora ngaya berarti menjalankan pencarian itu dengan ketenangan hati, menyandarkan pada waktu dan proses yang terjadi alamiah, dan berakhir pada pemahaman yen wis tekan titiwancine ya bakal kelakon- kalau sudah waktunya, ya akan tercapai dengan sendirinya. Ngupaya kanthi lega lila tak lain adalah perwujudan berusaha dengan menyerahkan semuanya kepada kehendak Yang Kasih, sumarah pasrah marang Gusti Ingkang Welas Asih. Tidak hanya menyerahkan waktu yang akan menyelesaikan, tetapi juga berusaha dengan sadar dan tenang dalam mencarinya. Kedua pencarian ini sepertinya sudah mendarah daging di hati kita dan terlepas dari agama yang sudah melingkupinya. Agama bisa jadi hanya melengkapi sikap batin manusia jawa. Mungkin ini adalah salah satu wujud dari pemahaman leluhur atas nilai “ golekana tapake kuntul nglayang, golek banyu apepikul warih” “ yang bermakna carilah bekas tapak bangau yang terbang, mencari air dengan berbekal air”. Pencarian tanpa ngaya lan lega lila sebenarnya mencerminkan sudah adanya pemahaman sederhana atas nilai “golek-mencari”.

Kalaupun tidak mendapatkannya, mungkin kita bisa tetap tersenyum dan bahkan malah menerimanya sebagai anugerah atas keberhasilan kita dalam upaya mencari. Legalila nampa sanajan ora kelakon”. Manungsa kuwi mung saderma titah, ya mung pasrah kersaning Allah ”

Lain waktu, saya memaksakan diri dalam mencapai sesuatu untuk memenuhi keinginan diri pribadi. Alasannya bisa karena ketakutan atas gagalnya mencapai keinginan ( dan ketakutan itu pun bisa berawal dari berbagai alasan). Kadang juga pemaksaan itu didasari ketidakpuasan, kebencian yang mendendam, kekecewaan. Pada keadaan ini, yang muncul adalah pembenaran dengan “golek bener, golek wah, golek menange” yang ekstrimya masih ditambahi “dhewe’ menjadi “golek benere lan menange dhewe, lan golek wah- mencari pembenaran untuk sendiri, mencari kelemahan orang lain serta mencari muka ”.

Pasti dalam mencari itu, mata hati dan mata batin terhadap orang lain ditutup, bukan tertutup. Egonyalah yang bicara. Tanpa sadar, yang sebenarnya didapatkan dalam mencari itu adalah “menemukan”, yaitu menemukan luka batin terhadap diri pribadi dan diri orang lain. Tapi karena masih didasari ‘golek menange dhewe’. luka itu juga dianggap sebagai hambatan dari luar dan semakin memaksa saya untuk lebih mencari secara memaksa. Kalau pada akhirnya tidak tercapai, saya akan mencari pelampiasan dan kembali mencari ‘golek benere dhewe’yang juga disertai dengan pembenaran.

Ke mana sebenarnya saya harus mencari? Apakah saya memang harus terus mencari baik dengan legalila lan narima? Atau harus dengan ngaya lan maksa? Apakah sebaiknya saya tidak harus mencari? Apakah apa yang saya cari sebenarnya sudah ada dan hanya tidak terlihat, tidak terasa, dan tidak teraba?

Mungkin saya lebih baik bertanya siapa SAYA? Apa yang saya CARI?