20 Juli 2009

MERASA SEBAGAI tuhan : celaka bag III

"Banda donya kuwi mung sampiran, nyawa kuwi mung titipan" artinya harta benda hanyalah hiasan dan nyawa itu hanyalah titipan. Suatu saat keduanya akan diambil kembali oleh Sang Pemberi tanpa kita tahu kapan terjadinya.

Tgl 17 Juli, pada hari yang biasanya dipakai sebagai hari penyerahan diri kepada Sang Pencipta, beberapa sesama-pepada kita dicelakai dan dipaksa untuk menyerahkan semua itu kepada seseorang yang menganggap mereka adalah orang lain-liyan. Kehilangan dan kematian terwujud dalam sekejap tanpa tanda-tanda kewajaran.

Gedung megah menjadi terpecah, kaca kristal yang memantulkan gambaran manusia yang tidak sempurna terpental menjadi serpihan, kursi berlapis kulit mahal sama sangitnya dengan kulit manusia yang terbakar. Banda donya muspra tanpa rega, harta benda hanyalah hiasan yang berubah menjadi barang tak berharga terbukti sudah.

Anak -bahkan yang baru saja lahir- dipaksa menjadi si celaka karena haknya untuk menyambut bapaknya pulang ke rumah diambil secara paksa. Orang tua mendapat celaka karena anak sebagai buah dari cinta direbut kematiannya. Suami atau istri pun harus menangisi celakanya karena pasangan yang dianugerahkan oleh Sang Pemberi menghadapi maut yang tak terduga. Nyawa kuwi mung titipan dadi yen tekan titiwancine ya bakal dipundhut Sing Kuasa, nyawa sebagai titipan pada saatnya akan diminta kembali oleh Sang Punya'. Para korban itu kita sebut tewas dan bukan wafat. Tewas adalah tanda bahwa kematian itu datang dalam bentuk celaka, bukan kewajaran. Maut menjemput mereka sebelum waktunya karena Sang Hidup tidak akan pernah mengambil nyawa kita dengan cara seperti itu, bukan juga karena bencana benar dari alam. Dudu sakmestine, bukan seharusnya. Mereka tidak akan pernah mendapat sebutan wafat sebagai tanda kembalinya titipan dari Sang Penghias dalam kedamaian dan ketenangan pertemuan kembali dari Si Penerima dengan Sang Pemberi.

Tapi apakah ke"tidakwajar"an ini bisa mendamaikan hati mereka? Apakah mereka bisa menerima kehilangan itu dengan sikap batin yang tenang? Apakah mereka untuk sementara bisa menyikapi apa yang terjadi sebagai celaka?Apakah celaka yang menimpa mereka akan terlupa oleh berjalannya waktu? Apakah kematian karena celaka itu tidak membuat mereka benci dan mendendam ? Pada satu titik, kehilangan harta benda oleh si pemilik di dunia ini bisa diterima sebagai bentuk ke"pasrah"an karena pengertian bahwa banda donya kuwi mung sampiran. Demikian juga halnya tewasnya sebagian keluarga mereka karena 'cilaka-celaka" itu pada saatnya akan disadari sepenuhnya dalam bentuk "nrimo-menerima".

Lalu, bagaimana dengan sang algojo? Apakah dia akan mendapat sebutan wafat atau bahkan gugur karena meyakini bahwa tindakannya adalah"pembenaran" yang harus dijalankan sebagai tugas menegakkan kebenaran? Bisa jadi dia akan mendapat gelar itu karena 'keluarga baru mereka' menganggap bahwa dia harus memperingatkan orang lain-liyan sebagai ketidaksamaan dengan keberadaannya," mereka adalah bukan kita" jadi harus diingatkan bahwa kita ada. Sang Algojo barangkali tidak akan dituduh sebagai pembuat celaka. Hebatnya, dia akan mendapat dua sebutan sekaligus - si pembuat celaka dan si berjasa. Barangkali jasa terbesarnya adalah dia melaksanakan keyakinannya sebagai tugas mulia dari Tuhan. Atau bahkan tanpa disadarinya dia merasa sebagai tuhan- Sang pemberi, karena dia merasa berhak mengambil.

Kematian sang algojo juga sama saja disebut tewas dan tidak pernah disebut wafat jika dilihat dari uraian makna kata. Mungkin saja dia justru celaka tiga kali karena celaka ikut tewas, celaka karena dia merasa sebagai tuhan atau, dan celaka lainnya karena bisa jadi tidak akan diterima oleh Sang Pencipta sebab mengaku melaksanakan kehendak Sang pencipta.

Apakah memang mereka - si semua korban celaka - sudah sampai waktunya menerima itu semua karena Sang Pemberi sudah meminta kembali semua hiasan dan titipannya? Kalau memang betul seperti itu, pastilah mereka layak menerima sebutan celaka. Kalau pun demikian adanya, lalu apakah kita akan mengatakan bahwa Sang Pemberi dan Sang hidup itu bertindak sewenang-wenang? Kalau kita merasa seperti itu, kita juga akan menjadi si celaka juga karena berani menuduh Sang Pemberi-Sang Hidup seenak kita.

Saya tidak berani mengatakan apakah saya berani bersikap demikian? Yang pasti saya adalah orang yang paling celaka kalau saya merasa sebagai tuhan.

Gusti nyuwun kawelasan..