06 Desember 2010

CIPTA

Cipta biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang baru dan belum pernah ada sebelumnya, sehingga muncullah kata mencipta dan pencipta, meskipun kadang tidak sepenuhnya yang tercipta itu betul-betul baru. Cipta di sini mungkin cukup jelas dikaitkan dengan pikiran, gagasan, analisis, dll.

Cipta juga biasanya dikaitkan dengan hati-perasaan-jiwa sehingga selalu kita dengar ucapan mengheningkan cipta ketika kita mengikuti upacara bendera pada peringatan hari kemerdekaan tgl 17 Agustus. Dan cipta di sini membingungkan karena apa yang seharusnya diheningkan: perasaan, jiwa, hati ? Pada saat mengheningkan cipta, kita mungkin justru tidak bisa hening karena saya mendoakan arwah para pahlawan yang benar-benar pahlawan untuk bangsa ini, dan artinya pikiran-hati-perasaan saya tidak hening. Dan bisa jadi kebingungan itu semakin menjadi ketika semakin mencari tahu apa sebenarnya maksud dari cipta. Kamus bahasa Indonesia menunjukkan satu hal dari kata dasar cita sebagai asal kata cipta yaitu kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan arti lain yaitu angan-angan yang kreatif.

Lalu, apa sebenarnya pengertian cipta dalam hidup kita? Apakah hanya terkait membuat sesuatu yang baru atau tentang angan-angan saja? Apakah kalau kita tidak atau belum mampu mencipta, kita menjadi orang yang sia-sia selama hidup kita? Lalu, apakah ketika kita berangan-angan setinggi langit, kita bisa disebut sebagai manusia yang penuh cipta? Mencipta yang bagaimana itu lah masalahnya. Kalau kita menciptakan sesuatu yang baik pantaslah kita mendapatkan kebahagiaan batin, tapi kalau yang buruk yang kita ciptakan maka sengsara lah yang akan kita buat sekaligus yang kita rasakan baik kepada diri sendiri atau terhadap makhluk lain.

Cipta sebagai angan-angan yang kreatif, sebagai olah pikir, sebenarnya adalalah bentuk kasar dari keberadaan cipta yang lebih dalam. Cipta ini, yang pada hakikatnya sebagai hati-perasaan-jiwa, sebenarnya berkaitan dengan membuat sesuatu yang baru dan bermakna secara batiniah. Mengheningkan cipta - ngeningke batin-budi-rasa, adalah menyiapakan diri secara spiritual untuk menciptakan kesadaran baru dalam hidup kita. Mengheningkan cipta munkin bisa dimengerti sebagai menghentikan semua angan-angan kreatif, dan membiarkan hati-perasaan-jiwa sendiri yang menjelalah batin kita untuk menemui Sang Pencipta Sejati, guru sejati manusia. Menghentikan bukanlah berarti tidak memakai hati-perasaan-jiwa lagi sebagai pemberian Sang Pencipta, tapi lebih pada membiarkan hati-perasaan-jiwa dikuasai sepenuhnya oleh keberadaan Sang Pencipta dalam batin kita dan tidak lagi memikirkan masa lalu dan masa depan, membiarkan batin pada keadaan kosong yang sebenarnya sangat penuh dengan daya cipta dan kebenaran kesadaran sejati.



12 Juli 2010

SUARA

Suara adalah bunyi yang keluar, entah dari benda hidup atau pun benda mati baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Suara dari yang hidup dan sendiri misalnya dari bibir manusia dan binatang, sedangkan yang bersama-sama misalnya paduan suara, katak dan serangga yang saling bersahutan. Suara dari yang hidup baik yang sendiri maupun bersama misalnya mesin, angin yang menderu, gesekan meja dengan lantai, alat musik, dan lain-lain

Suara juga bisa menimbulkan ketenangan ketika seorang anak terlelap sesudah mendengar tembang nina bobok dari ibunya, suara pasangan hidup yang dicintai ketika memanggil dengan kelembutan dan penuh cinta yang mendalam, suara celoteh anak yang baru mulai bicara. Suara juga bisa menyengsarakan sehingga membuat orang lain menderita, mengambil jalan pintas dengan membunuh diri padahal kebahagiaan dan kekehidupan itu adalah anugerah dari Sang Hidup.



Adakah suara yang tidak berbunyi? Kalau pun ada, apakah suara yang tidak berbunyi itu menenangkan sekaligus membahagiakan, atau sebaliknya? Ada orang yang mengatakan bahwa suara yang tidak berbunyi itu adalah suara hati, dan suara hati tidak pernah salah. Apakah benar demikian? Hati orang tidak pernah menentu dan selalu berubah setiap saat, kadang dipenuhi cinta sehingga suara hati itu mendamaikan kita dengan apa saja yang ada. Tapi bencana juga bisa hadir ketika suara hati kita dijejali amarah dan dendam yang membara sehingga sadar atau tidak kita akan melontarkan makian, cercaan dan sakit hati. Suara itu adalah suara hati dan suara Sang benar


Suara hati tidak pernah salah. Apa yang terwujud dalam tindakan kita adalah bentuk lahir dari suara hati, entah itu tindakan baik atau tindakan brutal dan melawan. Bukankah kita juga sering membenarkan tindakan kita yang salah menurut norma yang ada? Orang yang mengamuk misalnya, adalah wujud dari keadaan suara hati yang menuntutnya melakukan perusakan. Jadi suara hati yang baik tidak pernah salah. Kebaikan yang terwujud dalam tindakan dari seseorang juga merupakan cerminan suara hati yang menuntunnya untuk berbagi kebahagiaan, Jadi, sekali lagi suara hati tidak pernah salah. Suara hati yang tidak baik pun tidak pernah salah.

Suara hati selalu mengikuti suasana hati karena hati manusia bisa berubah dengan sendirinya, tergantung bagaimana situasi hati pada saat suara itu bersuara. Ketika hati sedang tidak enak karena banyak hal, suara yang muncul bisa saja penuh dengan kesedihan, kemarahan, ingin membalas dendam. dan bisa saja tercermin lewat kata-kat mulut atau pun tindakan Dan ketika hati sedang bersuka ria, yang muncul adalah pujian, kata-kata manis, dan berwujud gerak tubuh yang menyenangkan. Tetapi, suara hati itu tidak kekal adanya, sama dengan situasi hati manusia. sering juga kita membaca dan mendengar seseorang membunuh sesamanya karena mendengar suara yang selalu berkumandang dalam hatinya.



Apakah ada suara tanpa bunyi yang selalu baik adanya? Tentu saja ada, yaitu suara Sang Benar sendiri. Suara Sang Benar tidak pernah salah dan baik selalu adanya, entah suara itu sendiri maupun tindakan sebagai cerminannya. Suara Sang Benar tidak pernah salah dalam tindakan karena sura itu adalah suara Sang Suara sendiri. Bagaimana mungkin Sang Benar dan Sang Suara melahirkan kejahatan? Pasti tidak pernah ada karena Sang benar dan sang suara sendiri yang bersuara dan melantunkan kebaikan dan pertolongan kepada semua manusia, membantu sesame sekaligus membantu diri sendiri untuk lebih mengenal Sang Suara Benar.

Suara Sang Benar sering kali disalahartikan oleh manusia dengan membenarkan suaranya sendiri dan mengatasnamanakan suara Sang Benar. Bukankah banyak orang saling menghancurkan orang lain yang kadang beraliran sama dalam mengikuti Sang Benar? Perpecahan dalam kelompok keyakinan yang sama adalah tanda bahwa manusia membenarkan sendiri suaranya tetapi dengan keberanian besar mengatakan bahwa itu adalah suara Sang Benar.


Gusti, ngendikaa, mugi kawula saged nyemak. .





06 Juli 2010

REJEKI.

Sudah biasa kalau kita meminta rejeki kepada Sang Pemberi dalam setiap doa yang kita panjatkan, entah itu dua kali, lima kali, atau bahkan ratusan kali. Rejeki yang kita minta pun bisa bermacam-macam, misalnya supaya bisa beli rumah atau kebendaan lain. Ada juga yg sederhana yaitu berharap sekedar bisa makan seadanya supaya tidak kelaparan.

Ada orang yang mungkin meminta rejeki untuk besok dan bahkan mungkin bulan atau tahun-tahun ke depan. Pasti juga ada yang hanya meminta rejeki untuk hari ini saja. Apakah orang yang minta untuk jauh ke masa depan pertanda takut akan kemiskinan jadi meminta kepada Sang Pemberi secara "borongan"? Apakah yang minta untuk hari ini saja pertanda putus asa?

Jenis rejeki pun bisa beragam, bisa makanan, uang, hadiah mobil dari undian. Bahkan, kesusahaan dan penderitaan pun sebenarnya bisa dianggap sebagai rejeki. Bagaimana bisa? Kesusahan dan penderitaan adalah pemberian Sang Pemberi, dan dia selalu memberi dengan tujuan dan maksud baik, sama halnya dengan rejeki yang lain seperti cinta dari sesama, perhatian dari teman. Yang berbeda mungkin hanya bagaimana kita menanggapi apa yang kita terima. Sang Pemberi bukanlah sang perusak seperti manusia, dan bukan sang pembenci sepeti halnya alasan kita dengan membenci adalah bagian yang manusiawi. Kesusahan yang kita tanggapi sebagai bencana akan melahirkan kemarahan, keputusasaan dan kelemahan lain. Penderitaan juga bisa memunculkan rasa dendam supaya tidak menderita dan akhirnya ingin membalasnya dengan melakukan sesuatu yang menjerumuskan kita pada kesulitan lain. Tapi kesusahan dan penderitaan yang kita terima dengan damai akan menimbulkan pengertian baru bahwa apa pun yang kita terima darinya adalah anugerah.


Bolehkan kita minta rejeki untuk seluruh waktu depan? Ataukah hanya minta untuk hari ini? Setiap saat Sang Pemberi pasti akan memberi apa yang kita perlukan tanpa diminta. Lalu, apakah kita harus meminta sesuatu untuk jangka waktu yang lama padahal kita tidak tahu kapan nafas kita dihentikan olehnya? Boleh saja kita meminta lebih lama ke depan tapi semua itu akan sia-sia kalau tiba-tiba dia mengambil haknya sebagai pemberi. Nafas , uang, kebahagiaan penderitaan adalah hak dari Sang pemberi, bukan hak kita melainkan kewajiban kita untuk menerima dan mengembangkannya. Lalu, meminta untuk hari ini apakah cukup? Bagaimana besok dan lusa dan hari berikutnya? Sang Pemberi ada dan hadir setiap saat, tidak terbatas ruang dan waktu. Tidak seharusnya lah kita khawatir tentang hari esok karena Sang Pemberi adalah awal dan akhir, masa ada di tangannya, hidup kita adalah miliknya.

Sikap yang mungkin baik adalah bangun dan mengucap sukur karena kita masih bisa bernafas sebagai tanda cinta dari Sang Pemberi, lalu meminta rejeki secukupnya pada hari ini apa pun bentuknya. Merasakan semua rejekinya dan membaginya dengan sesama sebagai bentuk pengjormatan atas pemberiannya dan cinta kepada sesama, lalu mengembalikan semuanya pada saat kita akan memejamkan mata.


Gusti, kawula nyuwun rejeki kangge sapunika.

26 Juni 2010

ANGGAPAN

Apakah anggapan itu? Apakah anggapan selalu datang dari luar diri pribadi?

Anggapan adalah "merasa" dan 'berpikir" yang dilakukan oleh setiap manusia atas sesuatu, jadi pasti berkaitan dengan hati dan pikiran manusia, entah benar atau tidak- meskipun benar dan salah adalah ukuran yang tidak pasti. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan, maka dia biasanya langsung membuat anggapan bahwa dirinya benar, sama halnya ketika seseorang berpikir bahwa orang lain tidak benar maka dia juga membuat anggapan bahwa orang lain jelek. Atau, sebaliknya ketika seseorang merasa dan berpikir bahwa dirinya jelek maka dia membuat anggapan bahwa dirinya adalah pribadi yang celaka dan barangkali tidak diinginkan oleh orang lain, atau tidak berguna bagi sesamanya, terbuang, atau apa saja yang sekiranya paling dekat dengan 'merasa dan berpikir"nya atas diri pribadinya. Jadi, anggapan bisa bermula dari "merasa dan berpikir" baik terjadi secara sendiri-sendiri atau bisa jadi bersamaan diantara keduanya.

Suatu saat seseorang merasa bahwa dirinya adalah orang yang punya sesuatu yang membanggakan, lalu dia menganggap bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu yang tidak biasa. Tapi, pada suatu saat orang lain mengatakan bahwa dia masih belum bisa melakukan banyak hal, belum mampu. Jadi dia menganggap diri pribadi saya menurut ukurannya dan orang lain menganggap dirinya dengan ukuran orang lain. "Merasa dan berpikir" dia ternyata salah menurut "merasa dan berpikir" orang lain, dan itu membuat dia jatuh pada kekecewaan. Lalu dia hanya berpijak pada " rumangsa". Tapi, bisa jadi orangyang lain lagi menganggap bahwa dia punya sesuatu yang sama dengan 'merasa dan berpikir"nya. Jadi, orang ketiga sama dengan orang pertama, dab berbeda dengan " merasa -berpikir" orang kedua.

Apakah anggapan bisa salah?

Salah atau tidak bukan menjadi ukuran yang tepat karena Sang Pencipta tidak mengatakan apa pun tentang salah dan benar tentang anggapan diri. Sang Pencipta bahkan memberi kebebasan untuk "merasa dan berpikir" yang bahkan bisa menolak keberadaan Sang Pencipta sendiri. Misalnya, orang beranggapan bahwa dia harus membela dan melindungi Sang Pencipta dari manusia lain yang dianggap menghina Sang Pencipta. Apakah ini salah? Tentu tidak bisa disalahkan karena ukuran yang dia pakai adalah ukurannya sendiri dan anggapan sendiri. "merasa dan berpikirnya" dia adalah hak dia. Tapi barangkali yang baik adalah " merasa dan berpikir" sesuai dengan kesadaran diri akan tempatnya dalam duna ini. Jadi, anggapan dia sebenarnya adalah cerminan dari " rumangsa- anggapan berdasarkan merasa dan berpikir pada diri sendiri" dan belum memasuki apa yang disebut orang Jawa sebagai "ngrumangsani - anggapan atas anggapan diri sendiri berdasarkan kesadaran akan keberadaannya " sebagai hasil dari ciptaan Sang Pencipta.

Jadi, tidak salah juga kalau si A beranggapan bahwa dirinya mempunyai kelebihan daripada orang lain dan tidak salah juga orang lain mengatakan bahwa si A sebetulnya tidak punya kelebihan apapun yang bisa dibanggakan. Juga bisa dibenarkan kalau si A malah merasa bahwa dia tidak punya apa pun yang bisa dibanggakan sementara orang lain beranggapan yang sebaliknya.

Jadi, anggapan tidak pernah salah tetapi yang perlu menjadi permenungan dalam keheningan hati adalah anggapan atas anggapan diri pribadi sebagai makhluk ciptaan, sadar di mana dan harus bagaimana bertindak dan mengisi hidup ini sebagai bentuk penghormatan kepada sesama sebagai cerminan penyerahan diri secara pasrah kepada Sang Pencipta. Anggapan bahwa Si A lebih daripada Sang pencipta juga tidak salah, tetapi juga harus siap ada anggapan lain dari orang lain atas anggapan si A yang dianggap tidak sadar.

Rumangsa berbeda dengan ngrumangsani.







24 Mei 2010

LALI

"Manungsa kuwi nggone lali, manusia itu tempatnya lupa" sering kita dengar dalam ungkapan manusia jawa. Atau juga ungkapan " yen ora lali ya dudu manungsa- kalau tidak lupa ya bukan manusia".

Lali adalah lupa. Lupa bisa terjadi karena betul-betul lupa atau bisa jadi lupa bermakna mencoba melupakan sesuatu karena ada sesuatu yang lain. Atau juga, lupa lalu berubah menjadi fungsi ketika seseorang harus menghindar dari sesuatu. Sesuatu yang lain itu bisa berupa keinginan, kedudukan, harta, tanggung jawab, keberhasilan, atau apa saja yang hadir dalam pikiran dan kehidupan nyata setiap manusia. Lupa yang pertama biasanya dialami oleh orang yang sudah tua atau seseorang yang mengalami gangguan pada otaknya sehingga daya kerja memorinya tidak berfungsi baik. "Kelupaan" ini masih bisa kita terima karena memang tidak bisa memaksa orang yang lupa benar-benar dan benar-benar lupa. Apakah kita bisa menyalahkan orang yang lupa karena sudah uzur? tentu saja tidak.

Lupa kedua adalah lupa yang diusahakan dan disengaja karena tidak mau mengingat sesuatu yang barangkali tidak mengenakkan di masa lalu. Lupa jenis ini sebenarnya bukan lupa tapi lebih bermakna melupakan atau bahkan mencoba melupakan. Kadang bisa muncul dengan sendirinya atau bisa jadi muncul karena ada rangsangan yang entah disengaja ataupun tidak. Sifat lupa jenis kedua ini juga bisa lebih menyakitkan kalau ternyata memang hal yang ingin dilupakan nyatanya masih menempel kuat dan sebenarnya tidak ingin dilupakan, dan yang terjadi dalah neraka yang masih dirasakan dalam hidup. Bisa juga berhasil melupakan dan menerima apa yang sudah terjadi sebagai bagian hidup di masa lalu sehingga damailah dia dan menemukan surga di dalam hidupnya.

Lupa yang ketiga adalah lupa yang dibuat-buat dan justru sebagai alat pembenar dan sekaligus juga fungsi untuk menghindar dari tanggung jawab. Lupa yang ketiga ini sebenarnya yang sering terjadi dalam hidup manusia. Ketika seseorang diminta pertanggungan jawaban yang tidak bisa dilaksanakan biasanya jawaban yang muncul adalah "maaf saya lupa- wah aku lali", misalnya hal ini terjadi pada murid-murid yang tidak mengerjakan tugas dari gurunya. Wajah yang dipasang pun seolah benar-benar lupa meskipun menjadi sangat lucu karena sebenarnya matanya mengatakan hal yang sebaliknya.

Pada masyarakat Jawa ada jenis lupa yang lain yaitu manusia menjadi lupa akan dirinya sendiri dan terkadang malah bisa mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Inilah lupa yang paling berbahaya. Seseorang yang masuk dalam jenis ini sebenarnya menolak nilai-nilai rasa manusia yang hakiki karena hanya mengejar sesuatu yang semu. Harta, kedudukan, dan harga diri , kebenaran semu lah yang biasanya membuat manusia terjerumus atau menjerumuskan dirinya.
Tanpa sadar lupa jenis ini justru mencelakakan orang lain karena dia mengambil hak milik orang lain. Korupsi, misalnya, adalah contoh bahwa seseorang merasa bahwa dia berhak atas sesuatu yang sebetulnya bukan haknya. Demi mengejar kedudukan dan rasa bangga semu, seseorang juga tidak segan-segan mau menjadi orang yang 'lupa' akan rasa manusia yang sejati. Dia juga menyakiti orang lain dengan semena-mena dan tidak segan "mematikan" rasa orang lain karena orang lain dianggap sebagai alat dan sekaligus korban atas keinginan pemuasan diri pribadi.


13 Mei 2010

KORBAN = PAMRIH?

Suatu hari saya terperangah menonton TV karena ada seorang abdi negara sekaligus abdi masyarakat yang hamba hukum, minta perlindungan karena takut ancaman atas keselamatan nyawanya. Yang lebih menarik adalah, si empunya hukum justru minta perlindungan ke lembaga yang tidak ada hubungan dengan hukum. Lebih terperangah lagi karena keluarga si empunya hukum merasa bahwa beliau sudah memberi banyak pengorbanan sekaligus sebagai korban untuk negara ini.

Sesudah itu saya lalu merenungi deretan kata korban-pengorbanan-pamrih. Di mana kah ada korban dan pengorbanan? Kalau saja seseorang yang punya kekuatan cukup besar masih saja menjadi korban, lalu bagaimana dengan mereka yang berada di bagian paling bawah pada hirarki kekuatan. Pertanyaan lain adalah siapakah di negeri tercinta ini yang sudah berkorban? Apakah arti berkorban pada diri seseorang yang punya kekuatan dan bisa bermain dengan kekuatan itu? Apakah ada perbedaan berkorban dan bertanggung jawab sebagai abdi negara?ni

Ketika saya memahami makna korban, maka saya merasa bahwa korban adalah manusia atau bianatang yang betul-betul tidak berdaya menghadapi situasi ataupun perbuatan, misalnya korban bencana alam, korban kecelakaan, korban penipuan. Korban yang berasal dari akar kata Ibrani KAROV dengan makna "[datang] mendekat [kepada Allah]” ternyata bisa juga “diterjemahkan” menjadi “[pergi) menjauh [dari Allah] karena “akal budi manusia” yang berubah menjadi “akal-akalan manusia”. Petunjuk para nabi bahwa kurban sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta yang harus disertai moralitas dan kebaikan dari dalam diri manusia itu sendiri diterima sebagai bentuk pengingkaran kepada Sang Pencipta diiringi kepentingan si kuat terhadap si tak berdaya, ketidakadilan terhadap si papa atas hasrat si punya.


Lalu, di manakah posisi 'korban' pada beliau ini? Bisa jadi beliau ini memang menjadi korban dari persekongkolan, tapi apakah derajat sebagai 'korban' sama besar dengan teman yang tertimbun lumpur Lapindo, saudara yang terpenjara oleh ketidakadilan di negeri ini, yang jelas-jelas tidak punya kekuatan apa pun selain dipaksa-paksa merunduk?

Lalu pengorbanan yang beliau berikan apakah betul sebagai pengorbanan atau seharusnya lebih dimaknai sebagai tugas dan kewajiban? Sebagai bagian dari sistem yang ada, seharusnya lah orang yang memiliki kekuatan sekaligus kekuasaan memberikan kewajibannya dan tugasnya kepada bangs dan negara karena dia mendapatkan hak-hak dari negara. Hak yang dia peroleh adalah hasil dari kewajiban yang harus diberikan kepada negara dari semua bangsa ini, termasuk kamu papa tertindas melalui pajak, "kewajiban membayar administrasi, dll", yang barangkali malah tidak pernah mendapatkan haknya sebagai anggota bangsa merdeka ini. Jadi seharusnya dia menyikapi pengorbanan itu sebagai kewajiban karena seluruh bangsa sudah memberikan kewajibannya, yang kelak kemudian dia terima sebagai haknya. Apakah pemberian sesuatu yang dihargai dengan penerimaan sesuatu bisa dianggap pengorbanan? Kalau memang demikian, bagaimana dengan si papa tertindas yang dipaksa memberikan sesuatu dan tidak pernah menerima sesuatu?

Apakah "sudah memberikan perngorbanan dan sudah berkorban" lalu bisa dipahami juga sebagai pamrih? Dalam hati setiap manusia, ketika sudah mengucapkan kata "saya sudah berkorban" saya kira dia langsung membuat hitungan matematika tentang kesepadanan antara yang dia beri dan dia terima. Kalau merasa apa yang diterima tidak sepadan, biasanya kita lalu memakai kata sakti "berkorban" yang di dalamnya, diharapkan, ada pengertian dan pembelaan atas apa yang sudah diberikan. Apakah lalu ini yang kita sebut sebagai pamrih? Setiap kata sakti itu keluar, biasanya kata sakti kedua juga hadir karena dalam kata sakti pertama itu tersimpan kata sakti kedua. Berbeda dengan kata indah lega yang berarti bebas.

Perenungan saya ternyata tidak bisa berhenti karena membayangkan seandainya semua orang yang punya kekuatan dengan hukum masih saja minta perlindungan dan berhitung dengan kata sakti ' berkorban'. Apa yang akan terjadi di negeri dan bangsa ini kalau saja semua mereka yang berkuasa masih saja berpikir tentang pamrih? Bagaimana dengan kaum papa tertindas yang ingin mendapatkan secuil haknya saja harus terkapar berkali-kali?

Gusti, nyuwun kawelasan Dalem....

02 Mei 2010

BEGJA

Wong kang pinter kuwi isa kalah karo wong kang begja. Sanajan pinter ananging yen durung ketiban begja, durung mesthi uripe wong kuwi bisa kepenak. Kosokbaline, sanajan sinau mung tekan SD, mbokmenawa uripe bisa ngalahake wong sing sinau tekan S2 utawa malah S3. Wis akeh conto sing ana ing donya iki yen wong sing uripe rekasa dumadakan bisa nampa kabegjan sing gedhe, upamane oleh hadiah mobil saka bank kamangka tabungane neng Bank mung sithik. Ana uga sarjana lulusan universitas sing wis nyoba golek pagaweyan mrana-mrene ananging tetep durung isa nyambut gawe.


Saka ngendi asale begja? Begja asale ya mung saka Gusti. Begja ora liya rasa “matur nuwun” marang apa bae kang sawayah-wayah ditampa manungsa saka Gusti . Nalika nampa kacilakan nganti salah sijne tangane ilang, wong Jawa isih bisa omong kaya mangkene “ Begja mung tangane sing ilang, lha yen sirahe sing ilang mesthi bakal nemoni pati”. Conto liyane, ana ukara “ Wah….., begja tenan kowe bisa nyambut gawe nang kantor kuwi”. Begja uga tandha yen isih ana tresna saka Gusti marang manungsa. Contone: upama mung nampa bayar sithik, wong Jawa isih bisa ngucap “ Matur nuwun Gusti, begjane isih bisa nampa dhuwit senajan mung sithik” Begja uga ngemu pangarep-arepe manungsa marang babagan kan apik. Nalika wong tuwa ndongakake anake sing arep lunga adoh, adate wong tuwa duwe pangarep-arep kanthi ngucap “ “Muga-muga bisa nemoni begja ing uripmu, ya Nak?”


Apa begja kuwi bisa karasake dening kabeh manungsa? Ya. Rasa begja bisa dirasakake kabeh manungsa, malah uga bisa karasakake dening wong sing lagi nampa kacilakan kaya conto neng ndhuwur. Sanajan mangkono, akeh wong sing ora bisa ngrasakake begja sanajan wis akeh nampa kabegjan. Manungsa kerep lali yen isih bisa urip tekan saiki kuwi sejatine ya isih nampa kabegjan. Yen wis ora nampa kabegjan, mesthi bae wong kuwi wis mati. Isih bisa ambegan, isih bisa mlaku, isih bisa ngguyu, isih bisa mangan kuwi sejatine isih nampa kabegjan. Lha yen wis ora bisa ambegan lan ora bisa mangan kuwi tegese wis mati. Kabegjan kuwi sejatine kudu bisa dirasakake


Ing wektu saiki, nalika sangsaya akeh wong lali marang kahanan, nalika akeh wong mung golek senenge dhewe, nalika drajat, pangkat, lan dhuwit dadi barang kang diutamake, wong Jawa kudune emut marang apa sing wis katulis dening R.Ng, Ranggawrsita yaiku “ wong sing paling begja yakuwi wong sing tetep eling lan waspada”. Tegese, sanajan lagi nampa kabegjan, manungsa ora oleh lali marang apa kang wis ditampa saka Gusti. Manungsa tansah kudu eling yen samubarang kuwi saka Gusti lan bisa mangerti yen sawayah-wayah samubarang kuwi bisa dijaluk maneh dening Gusti. Manungsa uga kudu waspada supaya ora “ilang” ing uripe lan bisa ilang kamanungsane. Yen wis ilang kamanungsane, manungsa ora bisa kasebut dadi manungsa maneh.

30 April 2010

NGUPAYA TANPA NGAYA


Ngupaya adalah berupaya, mencari, berusaha. Ngupaya mengarah pada tindakan nyata dan terus-menerus dilakukan, entah itu dengan olah badan maupun olah rasa, tapi yang pasti dengan keyakinan. Olah badan misalnya dengan bekerja, olah rasa misalnya berdoa, meditasi, bertapa. Dalam ngupaya, orang ada yang melakukannya dengan tidak kenal lelah, dan terkesan memaksakan diri, tetapi ada juga yang dengan tekun dan pelan penuh kehati-hatian.

Ketika orang melakukan tindak ngupaya dengan sangat keras, bisa jadi karena dia sadar bahwa itu memang harus demikian adanya kalau ingin apa yang diupayakan harus terwujud, terlepas dari apakah itu karena terpaksa atau tidak. Bisa jadi dia terpaksa karena keadaan luar pribadi yang menuntut dia harus seperti itu, bisa juga didorong oleh keinginan diri pribadi sehingga dari kedua keadaan itu muncul lah kata-kata " sirah dadi sikil, sikil dadi sirah - kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala" Ini adalah keadaan di mana manusia sudah melebihkan apa yang sudah diterima dari Sang Kuasa, keadaan di mana kaki ditempatkan sebagai kepala dan kepala dijadikan kaki, dibolak-balik kedudukannya. Keadaan ini barangkali yang disebut "ngaya" sebagai "diri yang dipaksa " karena tuntutan dari luar diri pribadi, dan ngaya sebagai "memaksakan diri" karena keinginan dari diri pribadi. Ngaya karena tekanan dari luar bisa saja dipahami sebagai "ngaya marga kepeksa - memaksakan diri karena dipaksa" sementara ngaya yang didasari keinginan pribadi bisa dipahami sebagai "ngaya marga maksa- memaksakan diri karena memaksa".

Ngaya pertama menunjukkan bahwa tidak ada jalan lain karena memang dituntut seperti itu karena kalau tidak dilakukan akan lebih sulit keadaannya, akan lebih sengsara akibatnya. Dipaksa tentu lah tidak menyenangkan, penuh pengorbanan dan bisa saja pengorbanan itu menjadi sia-sia kalau tetap saja tidak bisa terpenuhi tuntutan dari luar, sengsara dua kali lah yang akan diterimanya. Upaya itu lalu tidak akan memenuhi harapan ketika ngupaya, dan mungkin akan muncul kata-kata " ngupaya tanpa guna - berusaha tanpa guna". Tetapi, bisa jadi, karena kegagalan itu, kesia-siaan yang muncul berubah menjadi hal yang baik kalau muncul sikap pasrah dan narima, kesadaran bahwa sesuatu dari luar itu sia-sia kalau harus dihadapi dengan keras. Sia-sia dan meyakitkan kalau harus menghadapinya secara konyol. Pasrah dan menerima itu lalu berubah menjadi damai dengan diri pribadi dan menyelaraskan diri dengan keadaan luar. Dan kalau pasrah-menerima itu muncul akhirnya "lega-bebas" lah yang selalu ada, dan akhirnya lega akan menyadarkan pada kata-kata "isih begja- masih beruntung"

Sementara itu, ngaya yang kedua menunjukkan bahwa keinginan diri pribadi lah yang menggerakkan dan memaksa untuk ngupaya tanpa memperdulikan ukuran benar yang seharusnya dipakai. Lalu, nafsu, ambisi, keridaksadaran akan diri pribadi lah yang menjadi ukuran pembenarannya. Memaksakan diri karena keinginan diri pribadi bisa saja tidak menyenangkan, tetapi bisa juga sangat membahagiakan karena mimpi-mimpi atas keinginan yang pasti terwujud lah yang diyakininya. Padahal, belum tentu seperti itu yang akan terjadi nantinya. Dan biasanya - karena tidak semua -orang akan menutup mata dan hati dalam mengejar mimpi lewat "ngupaya kanthi ngaya" nya karena dalam hatinya selalu tertanam dorongan " yen ora kelakon, sengsara uripku, kalau tidak tercapai sengsaralah hidupku. Tetapi, apakah betul bahwa berharapan yang tidak tercapai selalu membuat sengsara?. Jadi, orang yang berpikir ngaya ke dua ini tidak bisa berdamai dengan diri pribadi dan mungkin sekaligus tidak mampu menyelaraskan diri dengan luar. Keadaan ini bisa jadi akan memunculkan "gela-kecewa", dan ujungnya adalah keadaan "tansah cilaka- selalu celaka"

Apakah tidak boleh ngaya? Salahkah kalau kita ngaya? Ukuran yang dipakai mungkin bukan boleh-tidak boleh, salah-benar, tetapi kesadaran dan pengertian akan kekuatan diri pribadi dan keadaan dari luar lah yang mungkin bisa dipakai. Ngaya lalu bisa bermakna "ngaya tanpa wates - memaksakan diri tanpa batas" dan "ngaya tekaning winates - memaksakan diri sampai pada batasnya" dan akhirnya "ngupaya tanpa ngaya" menjadi nilai setiap pribadi yang pasti berbeda pada setiap pribadi.


gusti, kersaa hangampingi anggen kawula ngupaya


27 April 2010

PANGAREP-AREP KANG TREP.


Pangarep-arep adalah berharap dan harapan sekaligus. Trep adalah cocok, selaras, sesuai dengan situasi, harmonis. Jadi, pangerep-arep kang trep berarti (berpeng)harapan yang sesuai,selaras, dan pada akhirnya akan mewujudkan harmonisasi.

Berharap karena ada harapan adalah hal yang sangat manusiawi, wajar dan pasti didasari oleh kepercayaan bahwa Sang Pemberi akan mengabulkan – setidaknya – mendengarkan apa yang kita harapkan. Berharap dan harapan memang selayaknya disertai rasa mantap, ‘yen duwe pengarep-arep kuwi ya kudune mantep supaya bisa kaleksanan – kalau berpengharapan, sebaiknya yang mantap supaya bisa terkabul”. Kalau tidak ada kemantapan, tidak hanya dengan berharapan tetapi juga dalam banyak hal, seharusnya kita juga sadar bahwa harapan itu tidak akan selalu terwujud.

Lalu, bagaimana “pengertian” kita tentang trep? Tutup teko akan dikatakan trep kalau tutup itu bisa menutup teko dengan keocokan yang tinggi dan setidaknya cocok dengan keinginan atau kebutuhan si gelas. Trep juga sering dimaknai mengahalangi tumpahnya isi dari satu tempat, membuat tidak bocor.

Pertanyaannya adalah: apa yang dipakai sebagai ukuran? Apakah sesuai-selaras, cocok itu? Apakah itu berdasarkan kebutuhan kita? Ataukah itu berdasarkan keinginan kita semata yang kadang tidak masuk akal? Pertanyaan berikutnya adalah : apakah ada keinginan yang tidak masuk akal?

Pangarep-arep tentu saja berdasarkan keinginan dan keyakinan- entah masuk akal atau tidak - tetapi kadang lupa bahwa apa yang pangarep-arep itu bisa jadi sulit terkabul – mokal ora tinemu nalar – tidak mungkin dan tidak masuk akal. Apakah kita bisa berharapan menjadi kaya raya padahal kita tidak mau berusaha? Orang Jawa sering mengatakan bahwa kita sebaiknya “ ndelok githoke dhewe, ngukur klambine dhewe- melihat punggung sendiri, mengukur baju sesuai ukuran badan kita”. Bisa jadi kita merasa mantap dengan keinginan kita kaya raya tanpa berusaha, tapi apakah bisa terwujud? Orang mungkin akan berkata “ isa kawujud - bisa terjadi”. Tapi pertanyaannya dalah apakah itu trep-selaras,sesuai? Rasa mantap ini bisa berbahaya karena kita akan terseret dan terbuai dalam berharapan semu, hidup dalam mimpi, yang pada akhirnya mengganggu harmoni baik dengan diri pribadi maupun di luar diri pribadi.

Mungkin akan berbeda halnya kalau kita berharapan dengan selaras-sesuai. Dalam berharapan yang selaras adalah berharapan yang sudah diukur dengan kebutuhan, wis tinukur. Artinya, kesadaran kita yang membimbing bagaimana kita berharapan. “Trep kuwi wus tinukur kanthi pener lan wening- selaras itu sudah terkukur dengan benar dan hati bening”, dan akhirnya kita akan merasa mantap dengan pangarep-arep, berharapan itu. Pengarep-arep kang trep bisa jadi juga tanda bahwa kita tidka terseret dalam harapan semu dan sadar bahwa apapun yang terjadi akan kita terima karena semua itu tinemu ing nalar-masuk akal. Trep juga menandakan bahwa kita berdamai dengan diri pribadi dan dengan luar diri pribadi yang pada akhirnya membuat harmoni lebih membumi.


gusti kawula sembadanana panyuwun kawula

19 April 2010

SABAR lan NARIMA

Sabar lan narima adalah ucapan yang senantiasa disampaikan kepada orang yang sedang mengalami cobaan dalam hidup, entah itu ketika seseorang sedang sangat marah, sedih karena kehilangan atau mendapat bencana.



Marah adalah bentuk nyata pada seseorang terhadap ketidakterimaan, pemberontakan, dan penolakan atas apa yang sedang terjadi, yang tidak sesuai dengan yang diharapkan dan menyakitkan hatinya. Pasti lucu kalau seseorang yang sedang dalam keadaan marah diharapkan tersenyum manis. Yang langsung kelihatan adalah sikap yang sebaliknya : melawan, merusak, menyakiti orang lain meskipun secara sadar atau tidak sadar hal itu semakin menyakitkan dirinya sendiri. Sikap itu barangkali sebagai bentuk pembenaran menurut ukuran sendiri dan orang lain atau sesuatu yang lain adalah salah. Contohnya adalah : saya marah karena sepeda saya rusak lalu saya menngerundel atau bahkan menendangnya. Ukuran yang dipakai adalah sepeda itu harus baik dan harus siap kapan saja saya mau pakai, jadi kalau tidak bisa saya pakai maka marahlah saya.



Pada saat seseorang berada dalam situasi marah, biasanya orang lain mengatakan “ sing sabar, ya – yang sabar, ya” sambil mengelus bahu si marah. Kenapa kata sabar yang hadir dalam situasi itu? Sabar adalah SAmubarang kang elek BAkal Rampung. Sabar adalah bentuk penyerahan total atas penyelenggaraan Sang Pemberi terhadap kita, sekaligus bentuk penyadaran supaya masih berharap dan percaya bahwa sesuatu yang baik akan datang pada waktunya. Elusan di bahu seharusnya ditanggapi sebagai peneguhan bahwa Sabar itu akan datang.

Ketika kesedihan, bencana atau kesusahan datang, biasanya kita tidak bisa menerimanya dengan lapang hati, “ora bisa nampa kahanan- tidak bisa menerima keadaan” meskipun kehilangan itu hanyalah perubahan bentuk. Maka kata yang tepat untuk diucapkan adalah “ Ya kudu bisa narima kahanan- ya harus menerima keadaan” sambil tetap berharap dan percaya bahwa apa yang baik akan segera datang. Narima seharusnya dipahami sebagai “NAmpa kabeh paRIngane sang Maha Asih – menerima semua pemberian sang maha kasih” Sang Pemberi tentu saja tidak akan melupakan manusia ciptaannya karena kalau dia melupakan atau menghukum manusia, berarti luluhlah sebutan Sang Pemberi tanpa batas.



Bolehkah kita marah dan haruskah kita menerima apa yang terjadi? Marah dan tidak bisa menerima adalah tindakan spontan manusia karena manusia memang dibekali semua rasa dari Sang Pemberi, bahkan kita diberi keinginan bebas untuk menolak Sang Pemberi itu sendiri. Yang penting adalah bagaimana kita menyadari rasa marah dan tidak bisa menerima itu dan berdamai dengan keduanya.

Jadi, marilah kita marah dan tidak bisa menerima itu sambil tersenyum dan menyadari bahwa itu adalah tanda kita merasuk alam sabar dan narima.




Gusti paringana sabar lan saged nampi sedayanipun…

28 Maret 2010

RASA : TAKUT

Tidak ada manusia yang terbebas dari rasa takut, bahkan seseorang yang sangat ditakuti oleh manusia lain pun pasti juga punya rasa takut. Selama saya hidup, sering saya mendengar ada orang yang tidak takut apapun bahkan tidak takut mati. Pahlawan juga rela mati tanpa takut Adakah manusia di tanah Jawa atau di Indonesia yang belum pernah ditakut-takuti oleh orang tuanya sejak dia lahir dengan kata-kata " digondhol wewe yen kowe nakal-kamu akan dibawa hantu kalau kamu nakal" , atau '"yen ora gelem mangan, mengko kowe diculik- kamu akan diculik kalau tidak mau makan!". Barangkali seseorang tidak takut karena cerita konyol itu, tapi saya masih percaya bahwa pasti ada sesuatu yang menakutkan dia. Orang yang tidak takut mati pun psati akan merasakan ketakutan ketika dia sadar bahwa hidupnya tinggal sesaat.

Orang yang sangat berani mungkin justru karena dia mempunyai ketakutan yang luar biasa terhadap sesuatu, dan oleh karena ketakutan itulah maka lahirlah orang yang sangat tega seakan tidak punya rasa belas kasih, manusia yang seolah-olah tidak punya rasa takut sama sekali.

Ketakutan sebetulnya hal yang biasa karena dari ketakutan bisa lahir keberanian yang baik. Tetapi, kadang manusia menutupi ketakutan itu dengan tindakan tertentu yang menunjukkan "berani- wani"tanpa berpikir tindakannya benar atau tidak, masuk akal atau tidak. Ketakutan itu seharusnya menyadarkan kita untuk mencari sesuatu yang sungguh-sungguh memberanikan diri untuk melihat ketakutan itu bisa jadi tidak beralasan. Takut kehilangan-wedi kelangan adalah contohnya. Kalau kita sadar bahwa kehilangan itu sebenarnya tidak ada dan hanya perubahan bentuk saja, juga berarti menolak harapan dan kepercayaan,-pracaya lan tansah ngarep-arep, kenapa kita harus merasa takut? yang kita perlukan adalah sikap berani dalam arti berani mengakui bahwa suatu itu tidak akan hilang dan tetap percaya serta penuh pengharapan, maka kita terbebas dari rasa takut.

Lalu, bolehkah kita merasa takut? Wajarkah ada ketakutan? Takut yang tidak beralasan itu yang harus kita hindari, takut lalu berperilaku ngawur itu lah yang harus kita jauhi. Takut lalu mencari jalan yang baik dan penuh kepercayaan dan harapan bahwa semua itu hanyalah perubahan bentuk adalah ketakutan yang sangat manusiawi dan harus kita jalani, ketakutan itu lah yang akan memanusiakan kita, mendekatkan kita pada sesuatu yang Maha Tinggi, Kesadaran Tertinggi. "Penyatuan jagat kecil kita dengan jagat besar- manunggaling jagat cilik klawan jagat gedhe"

Mari kita nikmati rasa takut karena itu akan mengarahkan kita pada Yang Membuat Takut.

Gusti, kawula ajrih


06 Januari 2010

RASA : KEHILANGAN

Kelangan adalah kehilangan. Rasa kelangan berarti merasa kehilangan atas sesuatu. Kehilangan itu biasanya terjadi atas milik pribadi atau dianggap milik pribadi yang tidak bisa dimiliki lagi. Rasa kehilangan itu bisa bersifat sementara atau selamanya, rasa kehilangan itu bisa habis karena kita terhibur atau pada saat kita masuk liang kubur. Kelangan juga bisa dirasakan secara pribadi atau bersama-sama, individual dan komunal. Ketika ada penghiburan, rasa kehilangan itu bisa perlahan pupus dan bahkan hilang sama sekali sehingga kehilangan itu menjadi 'masa lalu". Tetapi kehilangan itu barangkali juga akan tetap tinggal di dalam hati meskipun penghiburan dan "pelarian" sudah sering dilakukan.Sesaat kehilangan itu akan hilang tetapi semakin sakit lah yang akan muncul ketika kehilangan itu kembali menguat dan usaha kita mengingkarinya ternyata gagal.

Kehilangan seorang Gus Dur adalah salah satu kehilangan komunal yang tidak hanya dialami oleh kelompok muslim, bangsa ini, tetapi juga oleh sebagian masyarakat Indonesia dan bahkan dunia. Gus Dur bisa jadi dianggap milik pribadi pada sebagian orang karena secara pribadi orang tersebut "merasa memiliki Gus Dur", misalnya menurut Dorce yang sangat merasa Gus Dur adalah penguat hatinya ketika dia terpinggirkan. Demikian juga sebagian besar rakyat Indonesia kehilangan Gus Dur sehingga dia mendapat gelar Bapak Pluralisme. Rasa kelangan atas Gus Dur bisa saja bersifat sementara atau selamanya, tergantung bagaimana setiap individu merasakannya, tergantung bagaimana bangsa ini akan mengingat keberadaan Gus Dur salam sejarah kita.

Tetapi, kehilangan yang sangat terasa secara pribadi - disadari atau tidak - adalah ketika kita kehilangan arah dan pegangan hidup. Pegangan hidup itu bisa saja keyakinan iman, pekerjaan, ataupun seseorang yang sangat dirasakan kehadirannya. Kehilangan pekerjaan mungkin tidak terlalu menyakitkan karena mungkin bisa mencari pekerjaan lain atau masih bisa bersandar pada keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehilangan seseorang yang sangat berarti barangkali lebih terasa menyakitkan karena bisa jadi orang tersebut tidak akan kembali kepadanya. Apakah bisa seseorang yang sudah meninggal padahal sangat dicintainya akan kembali hidup? Apakah masih mungkin seseorang yang dicintainya dan sudah meninggalkannya akan kembali bersamanya?

Dan kehilangan yang tebesar, setidaknya menurut saya, barangkali adalah kehilangan harapan dan kepercayaan - kelangan pangarep-arep lan kapracayan, atau sebaliknya. Kehiangan harapan akan menyebabkan kehilangan kepercayaan baik kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain atau sebaliknya kalau sudah kehilangan kepercayaan, maka tiada lagi harapan pada diri sendiri atau kepada sesuatu yang lain. Pada saat harapan-pengarep-arep sudah tidak lagi ada, maka apa lagi yang akan dipegang sebagai kekuatan untuk berkembang? Manusia sudah tidak bisa disebut lagi sebagai manusia karena beda manusia dan binatang adalah adanya nurani. Manusia dibekali nurani sebagai alat dan salah satu penentu penting dalam melangsukngkan hidup-dihidupi dan menghidupi, tidak seperti binatang yang hanya punya naluri sebagai dasar bergerak dan bertahan hidup.

Lalu, kenapa harapan dan kepercayaan sangat penting? Segala sesuatu yang seharusnya bisa dipikirkan dan dipakai sebagai kekuatan akan hilang ketika manusia tidak pernah punya harapan sama sekali dan hanya bergerak berdasarkan naluri, atau yang paling fatal hanya seperti robot yang bergerak tanpa ada kesadaran, atau manusia tanpa roh dan jiwa. Kalau harapan itu sudah musnah, maka dia tidak punya lagi apa yang disebut kepercayaan baik kepada diri sendiri, sesama ataupun bahkan kepada Sang Pemberi Harapan dan Sang Pemilik Kepercayaan. Harapan dan kepercayaan adalah bentuk dan sekaligus asal kesadaran, jadi kalau kesadaran itu sudah tidak ada, apalah artinya gerak hidup? Gerak yang ada adalah gerak mati dan sekaligus mematikan. Mati karena tidak ada nurani yang bekerja dan sekaligus semakin mematikan nurani itu sendiri.

Kita mungkin tidak sadar bahwa sebenarnya kita diberi keinginan bebas atau kebebasan untuk berkinginan oleh Sang Hidup untuk merasakan segala anugerah dan setiap kesempatan yang sudah kita terima, atau bahkan menolaknya. . Lalu, apakah kita tidak boleh merasa kehilangan? Pasti boleh karena pasti tidak ada manusia yang tidak pernah merasa kehilangan entah kehilangan barang atau anggota keluarga yang meninggal.Kebebasan yang kita terima dari Sang Pemberi dalam 'rasa kehilangan' ini adalah kebebasan untuk menyikapi sebab dan akibat kehilangan itu. Kita bebas mau menerima dan menghargai sesuatu yang 'hilang' itu atau kita mati hati dan nurani karena kehilangan itu. Sebenarnya 'rasa hilang-kehilangan' itu adalah karena kita merasa bahwa apa yang hilang itu adalah milik pribadi dan 'tidak boleh pergi dari hidup saya' padahal sesungguhnya kita juga adalah milik "Sang Pemberi dan Pemilik". Apakah kita sebagai 'barang milik' juga harus mati-matian mempertahankan milik dari "Sang Pemilik" yang sebenarnya bukan milik kita?

Seandainya pun apa yang kita anggap sebagai milik pribadi itu hilang, itu adalah anggapan kita karena kita akhirnya akan mati dan mati sering diangggap sebagai 'selesai'. Apa saja yang ada di dunia ini sebenarnya tidak pernah hilang, hanya mungkin beralih bentuk dan wujud. Misalnya, apakah Gus Dur hilang sehingga kita kehilangan? Tidak Gus Dur tidak hilang karena dia masih hidup dalam batin kita, dalam pikiran dan akal sehat kita. Badan wadag Gus Dur hanya berubah menjadi semangat dan sekaligus pendorong bagi orang yang merasa dekat dan berbagi dengannya. kepercayaan bahwa Gus Dur masih ada adalah harapan bahwa nilai dan cinta yang dia bawa akan tetap hadir dalam hati orang yang mencintainya.

Maka, dengan menolak harapan dan kepercayaan berarti kita menolak keberadaan kita sendiri akan sesuatu yang menjadi milik kita sebagai hadiah yang sudah kita terima dari Sang Kuasa. Sesuatu yang kita terima dan Sang Pemberi dan Sang Pemilik adalah kekal adanya.Janganlah pernah merasakan "kehilangan-kelangan" karena tidak ada yang hilang, yang ada hanya perubahan dan perwujudan bentuk.

gusti nyuwun kawelasan,
gusti - kawula.

Sembah Nuwun Konjuk ing Gusti


01 Januari 2010

HALAMAN KOSONG UNTUK GUS DUR

Matur nuwun Gus, sampeyan sampun kersa paring pitedah babagan kamardhikan.......



















































sembah nuwun konjuk ing Gusti