14 September 2009

BERHITUNG I : Cara manusia

Ketika saya masih belajar di sekolah dasar, saya diajari apa itu berhitung dengan macam-macam jenis dari menambah, mengurangi, mengali dan membagi. Secara tidak sadar saya mulai diajari kenapa dan bagaimana angka bisa menjadi penentu banyak hal. Angka berapa pun kalau ditambah atau dikurangi nol hasilnya adalah angka itu sendiri, apakah itu 1 atau 2 atau 100 juta kalau ditambah nol ya sama saja nilainya. i atau 10 trilyun dikuarang nol ya sama juga hasilnya. Jadi saya sudah bisa mengerti bahwa nol itu tidak mempengaruhi nilai yang sudah ada. Tetapi saya juga dibuat takjub bahwa angka berapapun kalau dikali nol hasilnya kok nol juga? Tapi saya heran juga kenapa nol tidak bisa dipakai untuk membagi? Akhirnya saya mencoba mengerti meskipun kadang protes dalam hati bahwa nol itu tidak ada arti atau nilai.

Lalu, ketika mulai remaja dan memasuki alam dewasa, pemahaman saya lebih dalam lagi bahwa nol itu sama dengan kosong. Juga semakin sering saya mendengar ucapan " NOL BESAR" untuk meyakinkan oarang bahwa pekerjaan dia tidak bernilai sama sekali, misalnya dalam kata-kata. : "janjimu itu hanya NOL BESAR? atau hasilnya adalah NOL BESAR!" dan lalu nol itu bernilai bohong besar atau sia-sia belaka, tidak bisa diharapkan

Dan saya sering paling suka kata nol ditambah angka 1 didepannya menjadi 10. sebagai nilai tertinggi, jadi kalau saya menjawab benar semua soal tes ya saya akan mendapat nilai 10, atau malah 100 sebagai angka besar. Jadi saya selalu mencari angka 10 atau 100 ketika saya harus mengikuti tes, Teman-teman saya masa kecil juga pasti mengidamkan nilai tertinggi itu karena pasti akan mendapat pujian dari guru dan terutama dari orang tua. Bahkan kalau bisa selalu mendapat nilai itu, semua anak bisa berharap bakal mendapat hadiah pada akhir tahun ajaran karena bisa menjadi juara pertama di kelas. Atau, sesudah saya mengerti bahwa angka nol bisa dipermainkan dengan seenak hati, angka itu menjadi bertuah dan bermakna. Bayangkan hanya dengan menambah angka nol di belakang angka lain nilainya akan berbeda sekali, misalnya harga 10 diberi satu angka nol saja bisa menjadi 100 - apalagi kalai diikuti kata juta atau milyar. Atau sebaliknya, juka saya tidak mau si A mendapat angka 100, maka saya kurangi satu angka nol menjadi 10 dan sayalah yang medapat angka 90.

Ternyata, nol sangat mempesona semua orang kalau angka nol mengikuti angka-angka lain di depannya, dan sekaligus juga menyengsarakan orang ketika angka nol dihilangkan dari angka sebagian dereat angka atau ketika pekerjaan kita dianggap nol.

Pada akhirnya, angka tidak pernah lepas dari berhitung-itung-petung, yang juga bisa dikaitkan dengan untung-rugi atau "bathi-tuna". Bahkan angka matematis itu juga akhirnya menembus dunia metafisika-agama dengan dipakainya penghitungan-petungan hari baik -golek dina becik, ketika akan melakukan sesuatu. Lalu, ketika kita berbuat kebaikan ternyata kita juga mencoba memakai berhitung dengan tanpa sadar juga memaksa Sang Pencipta memberi angka nol. Yen aku tumindak becik aku bakal nampa ganjaran tikel 10 saka gusti- kalau saya berbuat kebaikan, saya akan mendapat pahala 10 kali lipat dari tuhan. Dan hebatnya lagi angka 10 itu lalu menjadi sarana mencari angka yang lain dengan membujuk orang lain mengunduh "kehendak tuhan-kersaning gusti" lewat HP atau smacamnya. Yang jelas untung ya penyedia layanan, dan kita yang mengunduhnya juga diberi impian mendapat angka kali lipat itu. Kabeh bathi tikel 10, semua untung 10 kali lipat.

Keinginan mendapat nilai berhitung dengan angka nol ini, dengan atau tanpa disadari, pada akhirnya membuat manusia mencari muka- golek rai - kepada Sang Pencipta, mencari pamrihnya dengan merayu tuhan dengan seolah-olah memberi tapi mengharap 10 kali lipat. pikiran yang muncul adalah saya memberi 1 karena saya akan mendapat 1 + angka 0 menjadi 10, 1 = 10, 10 = 100 jadi 30 = 300, dan sesudah itu 30 hari saya tidak harus memberi lagi karena 300 sudah dekat dengan 365. Darimana pikiran ini muncul? Jawabannya adalah saya diajari berhitung dari Sang Pencipta, lewat banyak cara tentunya entah itu buku panduan berhitung, buku pendukung berhitung. Apakah betul demikian? Sangat betul kalau kita masih kelas nol besar dan baru saja belajar berhitung. Tanpa sadar juga, justru kita memaksa sang pencipta memakai dasar berhitung kita dan melupakan bahwa dia punya cara berhitung sendiri.

Jadi, mari kita berhitung dengan cara kita dan mengharapkan sang pencipta mengikuti cara kita karena kita sudah membuatnya merasa senang dan terharu. Mari kita beri 1 supaya angka itu berubah menjadi 10 yang akan kita terima...... TRAGIS!

sembah nuwun konjuk ing Gusti