12 Juli 2010

SUARA

Suara adalah bunyi yang keluar, entah dari benda hidup atau pun benda mati baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Suara dari yang hidup dan sendiri misalnya dari bibir manusia dan binatang, sedangkan yang bersama-sama misalnya paduan suara, katak dan serangga yang saling bersahutan. Suara dari yang hidup baik yang sendiri maupun bersama misalnya mesin, angin yang menderu, gesekan meja dengan lantai, alat musik, dan lain-lain

Suara juga bisa menimbulkan ketenangan ketika seorang anak terlelap sesudah mendengar tembang nina bobok dari ibunya, suara pasangan hidup yang dicintai ketika memanggil dengan kelembutan dan penuh cinta yang mendalam, suara celoteh anak yang baru mulai bicara. Suara juga bisa menyengsarakan sehingga membuat orang lain menderita, mengambil jalan pintas dengan membunuh diri padahal kebahagiaan dan kekehidupan itu adalah anugerah dari Sang Hidup.



Adakah suara yang tidak berbunyi? Kalau pun ada, apakah suara yang tidak berbunyi itu menenangkan sekaligus membahagiakan, atau sebaliknya? Ada orang yang mengatakan bahwa suara yang tidak berbunyi itu adalah suara hati, dan suara hati tidak pernah salah. Apakah benar demikian? Hati orang tidak pernah menentu dan selalu berubah setiap saat, kadang dipenuhi cinta sehingga suara hati itu mendamaikan kita dengan apa saja yang ada. Tapi bencana juga bisa hadir ketika suara hati kita dijejali amarah dan dendam yang membara sehingga sadar atau tidak kita akan melontarkan makian, cercaan dan sakit hati. Suara itu adalah suara hati dan suara Sang benar


Suara hati tidak pernah salah. Apa yang terwujud dalam tindakan kita adalah bentuk lahir dari suara hati, entah itu tindakan baik atau tindakan brutal dan melawan. Bukankah kita juga sering membenarkan tindakan kita yang salah menurut norma yang ada? Orang yang mengamuk misalnya, adalah wujud dari keadaan suara hati yang menuntutnya melakukan perusakan. Jadi suara hati yang baik tidak pernah salah. Kebaikan yang terwujud dalam tindakan dari seseorang juga merupakan cerminan suara hati yang menuntunnya untuk berbagi kebahagiaan, Jadi, sekali lagi suara hati tidak pernah salah. Suara hati yang tidak baik pun tidak pernah salah.

Suara hati selalu mengikuti suasana hati karena hati manusia bisa berubah dengan sendirinya, tergantung bagaimana situasi hati pada saat suara itu bersuara. Ketika hati sedang tidak enak karena banyak hal, suara yang muncul bisa saja penuh dengan kesedihan, kemarahan, ingin membalas dendam. dan bisa saja tercermin lewat kata-kat mulut atau pun tindakan Dan ketika hati sedang bersuka ria, yang muncul adalah pujian, kata-kata manis, dan berwujud gerak tubuh yang menyenangkan. Tetapi, suara hati itu tidak kekal adanya, sama dengan situasi hati manusia. sering juga kita membaca dan mendengar seseorang membunuh sesamanya karena mendengar suara yang selalu berkumandang dalam hatinya.



Apakah ada suara tanpa bunyi yang selalu baik adanya? Tentu saja ada, yaitu suara Sang Benar sendiri. Suara Sang Benar tidak pernah salah dan baik selalu adanya, entah suara itu sendiri maupun tindakan sebagai cerminannya. Suara Sang Benar tidak pernah salah dalam tindakan karena sura itu adalah suara Sang Suara sendiri. Bagaimana mungkin Sang Benar dan Sang Suara melahirkan kejahatan? Pasti tidak pernah ada karena Sang benar dan sang suara sendiri yang bersuara dan melantunkan kebaikan dan pertolongan kepada semua manusia, membantu sesame sekaligus membantu diri sendiri untuk lebih mengenal Sang Suara Benar.

Suara Sang Benar sering kali disalahartikan oleh manusia dengan membenarkan suaranya sendiri dan mengatasnamanakan suara Sang Benar. Bukankah banyak orang saling menghancurkan orang lain yang kadang beraliran sama dalam mengikuti Sang Benar? Perpecahan dalam kelompok keyakinan yang sama adalah tanda bahwa manusia membenarkan sendiri suaranya tetapi dengan keberanian besar mengatakan bahwa itu adalah suara Sang Benar.


Gusti, ngendikaa, mugi kawula saged nyemak. .





06 Juli 2010

REJEKI.

Sudah biasa kalau kita meminta rejeki kepada Sang Pemberi dalam setiap doa yang kita panjatkan, entah itu dua kali, lima kali, atau bahkan ratusan kali. Rejeki yang kita minta pun bisa bermacam-macam, misalnya supaya bisa beli rumah atau kebendaan lain. Ada juga yg sederhana yaitu berharap sekedar bisa makan seadanya supaya tidak kelaparan.

Ada orang yang mungkin meminta rejeki untuk besok dan bahkan mungkin bulan atau tahun-tahun ke depan. Pasti juga ada yang hanya meminta rejeki untuk hari ini saja. Apakah orang yang minta untuk jauh ke masa depan pertanda takut akan kemiskinan jadi meminta kepada Sang Pemberi secara "borongan"? Apakah yang minta untuk hari ini saja pertanda putus asa?

Jenis rejeki pun bisa beragam, bisa makanan, uang, hadiah mobil dari undian. Bahkan, kesusahaan dan penderitaan pun sebenarnya bisa dianggap sebagai rejeki. Bagaimana bisa? Kesusahan dan penderitaan adalah pemberian Sang Pemberi, dan dia selalu memberi dengan tujuan dan maksud baik, sama halnya dengan rejeki yang lain seperti cinta dari sesama, perhatian dari teman. Yang berbeda mungkin hanya bagaimana kita menanggapi apa yang kita terima. Sang Pemberi bukanlah sang perusak seperti manusia, dan bukan sang pembenci sepeti halnya alasan kita dengan membenci adalah bagian yang manusiawi. Kesusahan yang kita tanggapi sebagai bencana akan melahirkan kemarahan, keputusasaan dan kelemahan lain. Penderitaan juga bisa memunculkan rasa dendam supaya tidak menderita dan akhirnya ingin membalasnya dengan melakukan sesuatu yang menjerumuskan kita pada kesulitan lain. Tapi kesusahan dan penderitaan yang kita terima dengan damai akan menimbulkan pengertian baru bahwa apa pun yang kita terima darinya adalah anugerah.


Bolehkan kita minta rejeki untuk seluruh waktu depan? Ataukah hanya minta untuk hari ini? Setiap saat Sang Pemberi pasti akan memberi apa yang kita perlukan tanpa diminta. Lalu, apakah kita harus meminta sesuatu untuk jangka waktu yang lama padahal kita tidak tahu kapan nafas kita dihentikan olehnya? Boleh saja kita meminta lebih lama ke depan tapi semua itu akan sia-sia kalau tiba-tiba dia mengambil haknya sebagai pemberi. Nafas , uang, kebahagiaan penderitaan adalah hak dari Sang pemberi, bukan hak kita melainkan kewajiban kita untuk menerima dan mengembangkannya. Lalu, meminta untuk hari ini apakah cukup? Bagaimana besok dan lusa dan hari berikutnya? Sang Pemberi ada dan hadir setiap saat, tidak terbatas ruang dan waktu. Tidak seharusnya lah kita khawatir tentang hari esok karena Sang Pemberi adalah awal dan akhir, masa ada di tangannya, hidup kita adalah miliknya.

Sikap yang mungkin baik adalah bangun dan mengucap sukur karena kita masih bisa bernafas sebagai tanda cinta dari Sang Pemberi, lalu meminta rejeki secukupnya pada hari ini apa pun bentuknya. Merasakan semua rejekinya dan membaginya dengan sesama sebagai bentuk pengjormatan atas pemberiannya dan cinta kepada sesama, lalu mengembalikan semuanya pada saat kita akan memejamkan mata.


Gusti, kawula nyuwun rejeki kangge sapunika.