30 April 2010

NGUPAYA TANPA NGAYA


Ngupaya adalah berupaya, mencari, berusaha. Ngupaya mengarah pada tindakan nyata dan terus-menerus dilakukan, entah itu dengan olah badan maupun olah rasa, tapi yang pasti dengan keyakinan. Olah badan misalnya dengan bekerja, olah rasa misalnya berdoa, meditasi, bertapa. Dalam ngupaya, orang ada yang melakukannya dengan tidak kenal lelah, dan terkesan memaksakan diri, tetapi ada juga yang dengan tekun dan pelan penuh kehati-hatian.

Ketika orang melakukan tindak ngupaya dengan sangat keras, bisa jadi karena dia sadar bahwa itu memang harus demikian adanya kalau ingin apa yang diupayakan harus terwujud, terlepas dari apakah itu karena terpaksa atau tidak. Bisa jadi dia terpaksa karena keadaan luar pribadi yang menuntut dia harus seperti itu, bisa juga didorong oleh keinginan diri pribadi sehingga dari kedua keadaan itu muncul lah kata-kata " sirah dadi sikil, sikil dadi sirah - kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala" Ini adalah keadaan di mana manusia sudah melebihkan apa yang sudah diterima dari Sang Kuasa, keadaan di mana kaki ditempatkan sebagai kepala dan kepala dijadikan kaki, dibolak-balik kedudukannya. Keadaan ini barangkali yang disebut "ngaya" sebagai "diri yang dipaksa " karena tuntutan dari luar diri pribadi, dan ngaya sebagai "memaksakan diri" karena keinginan dari diri pribadi. Ngaya karena tekanan dari luar bisa saja dipahami sebagai "ngaya marga kepeksa - memaksakan diri karena dipaksa" sementara ngaya yang didasari keinginan pribadi bisa dipahami sebagai "ngaya marga maksa- memaksakan diri karena memaksa".

Ngaya pertama menunjukkan bahwa tidak ada jalan lain karena memang dituntut seperti itu karena kalau tidak dilakukan akan lebih sulit keadaannya, akan lebih sengsara akibatnya. Dipaksa tentu lah tidak menyenangkan, penuh pengorbanan dan bisa saja pengorbanan itu menjadi sia-sia kalau tetap saja tidak bisa terpenuhi tuntutan dari luar, sengsara dua kali lah yang akan diterimanya. Upaya itu lalu tidak akan memenuhi harapan ketika ngupaya, dan mungkin akan muncul kata-kata " ngupaya tanpa guna - berusaha tanpa guna". Tetapi, bisa jadi, karena kegagalan itu, kesia-siaan yang muncul berubah menjadi hal yang baik kalau muncul sikap pasrah dan narima, kesadaran bahwa sesuatu dari luar itu sia-sia kalau harus dihadapi dengan keras. Sia-sia dan meyakitkan kalau harus menghadapinya secara konyol. Pasrah dan menerima itu lalu berubah menjadi damai dengan diri pribadi dan menyelaraskan diri dengan keadaan luar. Dan kalau pasrah-menerima itu muncul akhirnya "lega-bebas" lah yang selalu ada, dan akhirnya lega akan menyadarkan pada kata-kata "isih begja- masih beruntung"

Sementara itu, ngaya yang kedua menunjukkan bahwa keinginan diri pribadi lah yang menggerakkan dan memaksa untuk ngupaya tanpa memperdulikan ukuran benar yang seharusnya dipakai. Lalu, nafsu, ambisi, keridaksadaran akan diri pribadi lah yang menjadi ukuran pembenarannya. Memaksakan diri karena keinginan diri pribadi bisa saja tidak menyenangkan, tetapi bisa juga sangat membahagiakan karena mimpi-mimpi atas keinginan yang pasti terwujud lah yang diyakininya. Padahal, belum tentu seperti itu yang akan terjadi nantinya. Dan biasanya - karena tidak semua -orang akan menutup mata dan hati dalam mengejar mimpi lewat "ngupaya kanthi ngaya" nya karena dalam hatinya selalu tertanam dorongan " yen ora kelakon, sengsara uripku, kalau tidak tercapai sengsaralah hidupku. Tetapi, apakah betul bahwa berharapan yang tidak tercapai selalu membuat sengsara?. Jadi, orang yang berpikir ngaya ke dua ini tidak bisa berdamai dengan diri pribadi dan mungkin sekaligus tidak mampu menyelaraskan diri dengan luar. Keadaan ini bisa jadi akan memunculkan "gela-kecewa", dan ujungnya adalah keadaan "tansah cilaka- selalu celaka"

Apakah tidak boleh ngaya? Salahkah kalau kita ngaya? Ukuran yang dipakai mungkin bukan boleh-tidak boleh, salah-benar, tetapi kesadaran dan pengertian akan kekuatan diri pribadi dan keadaan dari luar lah yang mungkin bisa dipakai. Ngaya lalu bisa bermakna "ngaya tanpa wates - memaksakan diri tanpa batas" dan "ngaya tekaning winates - memaksakan diri sampai pada batasnya" dan akhirnya "ngupaya tanpa ngaya" menjadi nilai setiap pribadi yang pasti berbeda pada setiap pribadi.


gusti, kersaa hangampingi anggen kawula ngupaya