21 September 2009

APAKAH NOL TIDAK BERMAKNA??


Sampai saat ini, dalam hidup saya, beberapa kali saya bermimpi tentang hal yang sama persis. Bahkan mimpi itu berlanjut selama 2-3 hari, sama seperti serial sinetron di TV kesukaan saya.

dalam mimpi itu, saya berenang di sebuah sungai yang panjang. Terus berenang tiada henti, terseret pusaran sebelum melewati jeram, perih karena terbentur batu-batu yang mencuat di sepanjang aliran. Terkadang harus berputar-putar mencari jalan keluar dari bendungan yang luas dan terseret terbawa aliran deras pintu air. Tidak ada kekuatan untuk mengjindari, tanpa daya! Tidak ada orang lain di aliran air itu. Kosong, mlompong!.

Disepanjang sungai selalu saya lihat orang yang saya kenal dan mengenal saya, tapi mereka seolah tidak mendengar panggilan saya padahal mereka sangat dekat dengan pinggir sungai. Mereka seolah tidak melihat saya yang terus berenang dan terus memanggil mereka satu persatu. Entah mengapa saya tidak bisa keluar dari air, ora bisa mentas! Sepi sajroning lan antaraning rame!


Dalam kesepian diantara keramaian itu, saya kembali berenang, terbawa arus air yang semakin kuat, deras dan membuat saya sia-sia menolaknya, Duh Gusti, kawula namung saged ngeli kaseret santering tirta. Lalu pusaran air semakin kuat dan akhirnya saya terbawa sampai muara, terus terhempas gelombang yang menghempas ke pantai dan kembali terseret ombak tinggi ke tengah laut, kembali tergulung dalam lingkaran gelombang, tenggelam dalam kesepian di dalam pusaran. Akhirnya, saya tidak bisa berenag lagi dan meyerahkan hidup pada samudra, hanya bisa mengambang di tengah kesunyian yang sangat senyap, dan bahkan tidak bisa mendengar suara riak air. Semua menjadi hening, dan tidak berdaya sama sekali, menyerah pada apa saja yang akan terjadi. kadya tinilar ing sunyaruri, lan namung saged pasrah dhumateng ingkan badhe dumados!


Pada satu titik, suatu pemahaman baru muncul bahwa NOL, KOSONG, SEPI itu sungguh bermakna menjadi keheningan, wening . Dalam kekosongan itu, Suara Sejati lah yang bergaung dan terdengar jelas dan saya bisa berbicara dengan sangat bebas tentang apa saja yang saya rasakan. Gema yang menggaung tidak menunjukkan adanya kenihilan, tetapi justru mencerminkan kejernihan suasana, ing kaweningan bisa ngenali suara kang sejati . Tong tidak akan bergaung kalau di dalamnya penuh dengan benda-benda, suara yang saya hasilkan akan terserap oleh lapisan-lapisan yang ada pada barang itu dan kita tidak bisa mendengar dengan jernih apa yang saya ucapkan. Sisi-sisi tong akan memantulkan suara saya kembali, bahkan beberapa kali lebih kuat sehingga semakin sadarlah saya atas suara saya. Lidah saya sebagai sumber suara menjadi tidak bisa ditolak lagi kebenarannya, ajining dhiri saka ing lathi tidak terbantahkan lagi justru karena kehampaan dan kekosongan tong itu.

Dalam kesepian yang mungkin sangat menyakitkan, sebenarnya saya bisa merasakan kekuatan yang lain karena justru dalam sepi itu lah sisi-sisi lain dari saya bisa terlihat. Sakit yang muncul menjadi tanda bahwa itu lah pengalaman yang terjadi selama ini, goresan itu menjadi tanda bagaimana saya harus berjuang dan mempertahankan apa yang saya yakini dalam hidup saya selama ini. Dalam-tidaknya goresan menandai kedalaman kekuatan tersembunyi, ke sadaran bahwa kekuatan itu betul-betul anugerah dari Sang Pencipta.

Dalam keheningan samudra hidup-segaraning urip- itu juga, seluruh syaraf masuk dalam keadaan sunyaruri dimana tidak ada batas yang jelas antara manusia dengan Sang Pencipta, alam mikro masuk ke dalam alam makro, jagat cilik lan jagat gedhe nyawiji, manunggal. Cipta dan rasa menyatu dalam gerakan indah dan melambangkan kemegahan hubungan personal antara jagat cilik lan jagat gedhe, menyatunya manusia dengan sang pencipta meskipun sifatnya hanya sesaat , manunggaling Kawula Gusti sanadyan mung saklerapan netra.


Jadi, kenapa harus takut dengan sepi dan kehampaan kalau itu ternyata jauh lebih bermakna daripada keramaian dan kebisingan?


"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H", mari memaknai NOL sebagai kekosongan dan kehampaan yang sangat indah, wening, megah. Dan kita bisa menari bersama dewa-dewi kebenaran sejati.

sembah nuwun konjuk ing Gusti


BERHITUNG II : cara SANG PENCIPTA


Ketika saya mulai mencoba mendalami apa itu agama dan iman, ternyata angka juga muncul dalam pemikiran dan pemahamanan. Mulai dari berapa persen orang yang beragama dan berapa persen dari yang beragama beriman pada satu nama. Juga angka dan pertambahan serta pengurangannya ternyata sangat mempengaruhi bagaimana sekelompok manusia ingin mewarnai kehidupan bernegara dan beragama.

Angka juga kembali bermakna ketika Sang Pencipta dianggap betul-betul berjanji akan melipatgandakan apa yang manusia lakukan pada saat-saat yang dianggap sesuai kehendak Sang Pencipta. Keyakinan itu barangkali berangkat dari kerinduan yanga amat sangat dari manusia atas kasih Sang Pencipta pada saat kita kembali ke rumahnya. Apa yang sudah kita lakukan akan kita harapkan sebagai alat hitung kita supaya semakin tinggi daya tawar kita sehingaga semakin mantaplah hati SangPencipta menerima kita dan kita akan disatukan dengan mereka yang benar-benar sudah berada di rumahnya. Kita akan diterima dan dilayani oleh para sejumlah bidadari karena pemenuhan kehendak Sang Pencipta meskipun itu berarti mengambil hak hidup orang lain. Kita akan disatukan dalam perjamuan abadi karena sudah memenuhi sepersepuluhan yang kita berikan dengan terpaksa kepada sesama.

Ah... barangkali cara berhitung SangPencipta berbeda dengan kita dan justru mungkin sangta berbalik dengan cara kita. Apa yang kita anggap sebagai melaksanakan kehendak Sang pencipta, bisa jadi dianggap rame ing pamrih olehnya karena ternyata kita memang senantiasa menyuarakan dengan sangat keras apa yang sudah kita lakukan, yang ternyata memang hanya sekedar mencari muka kepada Sang Pancipta. Mungkin Sang pencipta justru sedih melihat cara berhitung kita karena brangkali bukan seperti itu yang diinginkannya, tapi kita tetap saja bertindak dengan cara kita berhitung. Bisa jadi perkalian 10 kali lipat yang kita harapkan justru menjadi pembagi 10 kali lipat, sepersepuluh yang kita berikan dan dharapkan sebagai tambahan bisa jadi menjadi sepersepuluh sebagai pengurang kita.

Pada akhirnya, saya justru takut belajar berhitung karena cara saya sangat mungkin berbanding terbalik dengan cara berhitung Sang Pencipta . Apa yang saya anggap sebagai nilai 10 atau 100 bisa jadi malah hanya angka yang tidak bernilai sama sekali, perkalian bisa menjadi pembagian. Mungkin saya lebih baik tidak belajar berhitung dan tidak memakai angka dalam melakukan sesuatu, lebih baik Sang Pencipta saja yang berhitung. Mungkin sebaiknya saya melakukan sesuatu tanpa mengharapkan ada perkalian sebagai cara berhitung, Atau, sebaiknya saya membuat orang lain merasa senang dan bisa membuat mereka tersenyun saja karena senyum tidak ada hubungannya dengan cara berhitung. Atau, mungkin saya lebih baik menganggap apa yang saya lakukan memang seharusnya saya lakukan tanpa pikir apakah itu bisa bermakna sebagai berhitung atau bukan.

sembah nuwun konjuk ing Gusti