29 Desember 2009

RASA : NGAKU


Menyeberang dalam tatabahasa Indonesia berarti menuju seberang, juga dalam bahasa Jawa "nyabrang- menyang sabrang ". Mendarat, memasyarakat, membumi juga mengacu pada arti yang sama yaitu menuju darat, masyarakat, bumi dan berupa kata benda yang bernuansa tempat.

Lalu, bagaimana arti "mengaku atau mengakui?" misalnya dalam kalimat akhirnya dia mengaku mencuri uang rakyat, atau dia mengaku-aku sebagai pejabat, atau kalau dalam satu agama tertentu ada kata-kata mengaku dosa atau "saya mengaku". Kata dasar mengaku adalah kata benda "aku" yang bukan tempat seperti halnya darat, laut, udara, dan sedikit berbeda dengan masyarakat. Apakah aku adalah tempat? Kalau tempat, di manakah dan bagaimana wujud tempat itu? Masyarakat mungkin bisa mengacu pada tempat karena ada sekumpulan orang yang berada dalam suatu lingkungan, misalnya masyarakat Jawa, masyarakat Eropa, dll.

Yang sering kita katakan sebagai aku adalah aku secara badani misalnya dalam kalimat "aku durung mangan-saya belum makan, atau wah awakku lara kabeh- wah seluruh badan saya sakit" dan biasanya kita malah takut mengatakan AKU yang sejati, aku yang sebenarnya. Ketakutan ini karena kata yang mengikuti kehadiran aku sejati adalah kata "ngakoni-mengaku atau mengakui". Kenapa takut? Karena kata ngakoni cenderung menuntut adanya pengakuan atas kesalahan dan kita tidak mau merasa benar bahwa kita salah. Jadi tanpa sadar kita takut dengan kata ngakoni-mengaku(i) karena menunjukkan kita adalah benar-benar salah. Atau kata ngakoni bisa bernuansa sebaliknya yaitu menolak "AKU" sejati ketika kata yang kita pakai adalah 'ngaku-aku atau mengaku-aku" Penolakan itu jelas kelihatan ketika seseorang "merasa sebagai" polisi padahal dia adalah pencuri, atau "ngakune sugih". Penolakan itu bisa karena perasaan seseorang ingin diakui keberadaannya, bisa jadi karena dengan ngaku-ngaku itu mendapat keuntungan, atau mungkin saja karena ingin memenuhi impian yang tidak tercapai. Kesemua alasan itu barangkali muncul karena rasa tidak berani menerima kenyataan yang sebenarnya. Dan sebenarnya, seseorang harus siap menerima resiko kalau "ngaku-akunya' akan konangan-ketahuan, dan bisa menjadi rasa wirang-malu yang teramat sangat"

Sebenarnya kita sadar bahwa AKU adalah "tempat" dan kita tahu di mana tempat itu. Aku setiap orang adalah sama, entah itu kaya atau miskin, tua atau muda, laki-laki atau perempuan. "aku" di sini adalah "aku sejati- batin-pribadi tinggi" dan bukan "aku wadag-aku fisik", dan berada di tempat yang sangat dalam dan sangat tinggi. Sangat dalam karena kadang kita harus mencarinya bersusah payah, bahkan perlu bertahun-tahun untuk menemukannya. Sangat tinggi karena "AKU" adalah "pribadi dan kesadaran tertinggi", artinya aku adalah penjelmaan sekaligus perwakilan Sang Pencipta sendiri yang hadir dalam "aku wadag"

"Ngakoni- mengaku" adalah jalan menuju "AKU ", dan sekaligus bentuk kesadaran akan hakikat yang ada dalam badan wadag. Pada saat kita ngakoni-mengaku, sebenarnya kita sedang berada pada tempat yang sangat dalam yaitu mikrokosmos kita yang terletak jauh di dalam hati , sekaligus menjadi tempat yang sangat tinggi karena Sang Maha Tinggi lah yang kita hadapi. Sang Maha Tinggi yang berada di dalam aku sejati mengajak kita untuk menerima dan berdialog dengan aku kita. Ketakutan akan rasa malu dan tidak nyaman ketika konangan - ketahuan sebenarnya bernilai sangat kecil karena pertemuan antara "aku dengan Sang Tinggi" jauh lebih berharga karena pertemuan itu adalah hal yang sesungguhnya, bukan kepura-puraan. Ngakoni sebenarnya juga bentuk penyadaran bahwa selama ini kita terbelenggu oleh sesuatu yang tidak benar, menyiksa, menakutkan. Dalam ngakoni-mengakui, yang tanpak adalah kepasrahan dan penerimaan atas kehadiran Sang Tinggi dalam masa ke depan. Contohnya adalah :pencuri yang mengaku mencuri sebenarnya menunjukkan keberanian yang luar biasa karena dia akan pasrah kepada apa yang akan terjadi sekaligus memunculkan harapan akan rasa belas kasih. Hukuman untuk pencuri yang ketahuan tapi tidak ngakoni pasti akan lebih berat daripada tidak mengakui. Ngakoni juga membawa rasa tenang, damai dan tidak merasa dikejar-kejar. Contoh yang jelas adalah bagaimana seorang pembunuh akhirnya memyerahkan diri dan mengakui kesalahanya kepada polisi sesudah merasa dikejar-kejar arwah korban. Yang mengejar sebenarnya bukan si arwah, tapi "AKUnya "sendirilah yang menuntunya.

Jadi kalau kita "ngakoni-ngaku-mengakui" arti yang sebenarnya adalah aku yang sedang menyang AKU, menuju AKU -Sang Pencipta, dan menyerahkan hidup kita serta mengakui bahwa kita lemah, dengan keyakinan bahwa kasih dari Sang Pencipta akan mengalir, mendamaikan.

sembah nuwun konjuk ing Gusti,