11 Februari 2011

PERMINTAAN

Manusia sering meminta kepada "Sang Pemberi" dengan banyak cara dan motivasi. Cara yang dilakukan bisa jadi dengan penuh kesadaran dan kepasrahan lewat doa yang khusuk atau mendaras yang dilakukan oleh semua pemeluk keyakinan / agama, tapi bisa juga dengan cara tawar menawar dan jual beli jiwa lewat pesugihan, babi ngepet, dll, yang pada dasarnya justru malah melawan arus agama. Ada juga yang menyiksa diri dengan merendamkan diri di muara sungai, pantang ini dan itu, menggantung diri seperti kelelawar. Segala cara itu ditempuh dengan motivasi supaya apa yang dimintanya segera terkabul, artinya mau secepatnya terjadi.

Cara halus dan cara paksa yang dilakukan manusia bisa jadi bernuansa dan bermuara pada motivasi yaitu meminta secara paksa. Perbedaan cara dan tujuannya pun cukup tajam dan bisa dimengerti oleh "si peminta".

Meminta secara halus misalnya dengan berdoa dan memberi sedekah dengan harapan mendapat pahala. Nah, pahala yang diinginkan ini bisa jadi seperti cara anak kecil melakukan yang orangtuanya inginkan dengan harapan mendapat sesuatu. " yen kowe isa ranking, kowe taktukokake pit- kalau kamu bisa mendapat ranking, kamu akan saya belikan sepeda" atau sebaliknya " yen aku munggah kelas. aku dipundhutke pit ya? kalau aku naik kelas, aku dibelikan sepeda, ya?" Bisa jadi kita melakukan sesuatu karena ada permintaan dan cara yang kita pakai juga bisa jadi memaksa secara halus kepada si Pemberi. Kita memaksa secara halus, membujuk si Pemberi supaya mengabulkan keinginan pemenuhan ego kita. meminta secara paksa pun kadang kita lakukan, tidak hanya kepada sesama tapi juga bahkan kepada Sang Pemberi. Doa dan tindakan yang kita lakukan lewat bahasa dan aksi keagamaan, misalnya, dengan pengatasnamaan kasih Sang Pemberi adalah beberapa bentuk pemaksaan kita pada Sang Pemberi. Bahkan kita bisa mengambil nyawa orang karena adanya permintaan supaya bisa masuk surga, dll.

Lalu, bagaimana sikap kita terhadap permintaan kepada sang Pemberi? apa yang sebaiknya kita lakukan? Mungkin dengan cara pasrah dan hanya berterima kasih sajalah yang perlu kita lakukan. Sang pemberi sudah tahu apa kebutuhan kitam bahkan jauh sebelum kita hadir di dunia ini, semua kebutuhan kita sudah disediakan olehnya tanpa kita minta dan tanpa kita sadari. Yang perlu kita pahami adalah menyadari bahwa semua sudah tersedia dan akan selalu disediakan oleh Sang Pemberi tanpa kita minta. Apakah rumput pernah minta air? apakah burung juga pernah minta sesuatu dari Sang Pemberi? Saya tidak pernah mendengar mereka berdoa karena bisa jadi mereka tidak sama dengan kita, tapi Sang Pemberi ternyata juga masih memenuhi kebutuhan mereka. Manusia sebagai pencitraan Sang Pemberi sendiri sudah dibekali dengan akal, hati, nurani, roh, jiwa, dan semuanya itu sebagai alat untuk menerima dan bersyukur atas semuanya.

Apakah kita selalu sadar bahwa udara yang kita isap setiap bangun tidur kita terima secara gratis? dan bahkan kita sendiri dengan sadar malah merusaknya?

Jadi, bersyukur lebih bermakna daripada meminta. Persembahan hidup kita lebih bermakna daripada permintaan kita.

Sembah nuwun konjuk ing Gusti....

08 Februari 2011

GUSTI

Manusia sering membuat banyak nama untuk sesuatu barang yang sama bentuk dan fungsinya. Kadang ada nama yang sama, kadang ada yg betul-betul berbeda, dan bahkan ada yang bertolak belakang pemakaian dan artinya. Nama bisa merujuk sesuatu yang mengandung sesuatu yang lain juga. Manusia juga sering "merasa memiliki" secara khusus dan berjuang mati-matian demi sebuah nama sebagai milik pribadi yang tidak boleh diakui milik orang lain.

Nama sebenarnya hanya sebuah alat untuk mengenal sesuatu, merasa akan sesuatu, membantu ke suatu sasaran tertentu. Tanpa sebutan apa pun, kita bisa mengenal sebuah bentuk barang yang akhirnya bernama rumah, dan yang membuat pedas adalah cabai, timur adalah arah matahari terbit. Suara, cipta, rasa, urip adalah nama atau sebutan yang juga untuk mengenal, merasa, menuju kepada sesuatu.

Pada hakikatnya, semua nama yang ada di bumi ini akhirnya akan mengarah pada suatu nama yang paling agung, paling tinggi dan paling luhur, yaitu Tuhan, Allah, Yahwe, Dewa, dll yang sebenarnya mengacu pada "Sang Tak Bernama". Sebagai manusia Jawa, saya merasa lebih nyaman dengan sebutan Gusti untuk " sang tak bernama".Suara, cipta, rasa, urip yang coba saya dengungkan dalam dan dengan kedalaman suara, cipta, rasa, dan urip itu sendiri pada akhirnya memasukkan saya pada hakikat gusti dan akhirnya semuanya melebur ke dalam "wening-bening, meneng - eneng". Suatu keadaan yang tanpa nama dan tanpa bentuk, tapi ada dan nyata.

Lalu, mengapa manusia sering mempermainkan "sang tak bernama" dan mengakui sebagai milik pribadi yang tidak boleh diakui, dinodai atau diberi makna lain oleh manusia lain, sementara "sang tak bernama" itu sendiri jauh melebihi semua klaim kita? Mengapa manusia yang sebenarnya adalah milik Gusti "sang tak bernama" merasa lebih kuasa darinya? Gusti adalah GUru Sing sejaTI, guru sejati yang ada di dalam setiap relung suara, cipta, rasa dan urip manusia secara pribadi baik secara sadar diterima keberadaannya atau pun tidak. Gusti "sang tak bernama" sudah ada di dalam hati tanpa bisa kita tolak, dan percuma juga kita melepaskan itu. Manusia hanya tidak sadar atau tidak mau menyadari bahwa itu ada, dan bahkan lalu mencoba memaknai dan mengenalinyanya sebagai suatu nama yang kadang kita "kosongkan" rohnya, mempermainkannya, dan mengatasnamakannnya demi kepentingan pemuasan sendiri.

Dalam "wening-bening, meneng-eneng" sebenarnya Gusti "sang tak bernama" ,sebagai guru sejati, muncul sebagai sosok yang sangat luar biasa, yang pada hakikatnya mau menunjukkan bahwa manusia ada di dalam Gusti dan Gusti ada di dalam manusia, yang menjauhkan pribadi manusia pada pembenaran atas namanya, yang membebaskan manusia dari semua keterikatan duniawi, yang menggerakkan suara-cipta-rasa-urip. Dalam gusti sebenarnya tidak ada lagi pembeda pada semua sebutan, entah itu nama barang, manusia, agama dan keyakinan, bahkan "sang tak bernama" itu sendiri. Semua melebur dan menyatu pada hakikat yang sejati, sang GUru Sing sejaTI. Gusti tidak bisa kita terjemahkan lagi sesuai keinginan kita, sekehendak hati kita.

suara- cipta - rasa - urip - GUSTI.......

01 Februari 2011

URIP

Urip adalah hidup. Semua barang di dunia yang bernyawa dan bergerak disebut hidup, manusia, tumbuhan, binatang. Angin juga bergerak, bumi juga bergerak, tapi apakah mereka juga bisa disebut makhluk hidup meskipun tidak bernyawa ? Binatang, pohon, manusia punya energi dan itu bisa jadi disebut energi hidup, lalu apakah angin dan bumi yang juga punya energi bisa disebut hidup?

Lalu apa dan bagaimanakah sebenarnya hidup itu? Dari manakah hidup itu? Biasanya kita melihat hidup hanya dari sisi bernyawa atau tidaknya suatu barang, bukan dari gerak semata. Meja pasti tidak memiliki hidup meskipun dulu berasal dari pohon yang hidup meskipun saat ini meja mungkin masih memiliki energi, apa pun bentuknya. Meja setidaknya memberi "rasa hidup" lewat panca indra mata, dan juga melahirkan kenyamanan kepada kita melalui fungsinya dalam keseharian kita.


Merapi yang menggemuruh dan kita pikir membawa bencana, juga tidak bisa disebut benda hidup meskipun mengeluarkan lahar yang memberi hidup kepada petani, kepada kita lewat hasil panennya, dan terutama kepada hati manusia Jawa di sekitanya. Energi dari bumi yang keluar dalam bentuk lahar adalah tanda bahwa bumi hidup dan bergerak dinamis, dan untuk itu bahkan dihormati oleh manusia Jawa sebagai bagian dari alam yang selalu hidup. Lahar yang dingin pada akhirnya akan memberi hidup kepada padi, sayuran, buah yang makhluk hidup lain bisa rasakan sebagai berkah


Angin juga mengalirkan hidup melalui udara yang kita dan binatang hirup, juga yang pohon hisap sebagai bahan utama kehidupan. Tanpa udara, siapa bisa bertahan meskipun kita bisa makan dan minum sebanyak yang kita mau? Memang benar angin kadang membawa bencana juga dan kita hanya mengingat bencana yang kita rasakan karena berakibat kepada kemalangan dan melupakan bahwa kita sering menyia-nyiakan angin yang memberi kesejukan lahir dan batin, angin yang memberi hidup. Di dalam air pun ada udara yang kita perlukan meskipun barangkali kita tidak sadar bahwa udara ada di sana dan juga kita bahkan sering merendahkan air sebagai "alat pemenuh keakuan kita"


Mungkin kita hanya tidak sadar bahwa meja, gunung merapi, angin sebenarnya memiliki hidup dalam arti yang berbeda dan sekaligus memberi hidup kepada benda yang lain. Dan barangkali kita juga lupa bahwa semua yang ada di alam semesta itu adalah hidup dari "sang hidup" sendiri dalam segala bentuk dan perwujudannya. Semua yang hadir di bumi sebenarnya menunjukkan bahwa " sang hidup" ada di dalam kita dan kita juga ada di dalam "sang hidup".


suara, cipta, rasa, urip






29 Januari 2011

RASA

Apakah rasa itu? Ada berapa macam rasa yang ada di bumi?

Rasa adalah kondisi atau sesuatu yang hadir dalam diri kita. Lewat lidah kita bisa merasakan manis, asin, pahit, dll. Dinginnya udara dan panasnya suhu bisa kita ketahui lewat kulit. Rasa pada lidah bisa kita atur menurut keinginan kita, sesuai dengan harapan kita. Pada saat kita ingin rasa pedas, kita bisa menambah rasa itu dengan cabai; kalau terlalu pedas, tinggal menambah garam atau bahan lain untuk mengurangi rasa pedas. Mau rasa manis, tinggal memberi gula. Panas dan dingin juga bisa kita sesuaikan dengan kemanuan kita dengan mengatur AC atau kecepatan kipas angin. Kalau udara di luar sangat dingin atau sangat panas, kita bisa memakai baju hangat atau berpayung. Jadi, kita bisa mengukur dan mengatur rasa di kelompok ini.

Bagaimana dengan rasa pada hati? Bisakah kita mengukur dan mengatur rasa itu? Rasa pada hati bisa saja muncul sebagai akibat dari sesuatu yang terjadi dari luar atau dari dalam diri kita dan barangkali kita tidak bisa menolaknya. Ketika seseorang melakukan sesuatu yang sesuai dan tidak sesuai dengan situasi hati, maka rasa akan langsung muncul. Pada saat kita menginginkan kesenangan dan orang memberi sesuatu, maka senanglah kita. Tapi ketika berita atau keadaan tidak baik datang pada saat kita tidak mau merasakan itu, maka rasa marah, kecewa, sedih lah yang akan ada dalam hati kita. Ukuran juga tidak bisa langsung kita pakai, tidak sama dengan rasa pedas yang bisa kita atur. Susah kiranya kalau kita sedang sedih tapi harus tertawa gembira, atau kita diharapkan sedih ketika sedang bahagia.

Barangkali kita bisa mengatur dan mengukur seberapa sedih atau gembira rasa yang ada, tetapi itu pasti tidak mudah. Kita mungkin cenderung membesarkan rasa yang sebenarnya dengan mengatakan " Lha kowe ora ngerti sing takrasakake - Lha kamu tidak mengerti apa yang sedang saya rasakan". kepada orang yang mengangap ringan atas apa yang sedang dirasakan oleh kita. Jadi, ukuran yang kita pakai adalah ukuran yang berbeda antara kita dengan orang lain. Atau sebaliknya, ukuran rasa hati juga bisa salah pada saat kita mengatakan " Mung ngono kuwi bae kok ndadak gela- hanya seperti itu saja kok harus menjadi kecewa" kepada orang yang sedang "merasa" sangat sedih sementara kita menggagap hal yang terjadi adalah hal ringan. Ukuran ini lalu menjadi tidak tetap dan sangat tergantung pada pemahaman tiap pribadi.

Bisa jadi, semua rasa hati itu sama, sedihnya A dan sedihnya B sebenarnya ya 'rasa sedih itu sendiri, tidak penting itu sedih sekali atausedikit sedih, sama halnya dengan pedasnya cabai di mana saja. bagi orang yang tidak biasa pedas, 1 cabai sudah bisa sangat pedas dan 10 cabai bisa uga tidak pedas bagi yang suka pedas. Tinggi rendahnya rasa akhirnya tergantung pada pengenalan pribadi terhadap "rasa" itu sendiri.

Yang barangkali paling penting kita ketahui, kita pahami dan kita rasakan adalah "rasa hidup", yang akhirnya bersumber pada "rasa Sang Pencipta". Bagaimana bisa mengenali dan masuk "rasa Sang Pencipta" itu? Dengan mengenali semua rasa, mungkin kita bisa mengenali 'rasa hidup". Pedasnya cabai adalah pedas dari alam dan itu berarti yang menciptakan rasa pedas itu adalah SangPencipta sendiri. Manusia bisa saja menciptakan pedas pada cabai di laboratorium dan pertanian, tapi sebenarnya apa yang dilakukan itu juga tidak lepas dari berkah Sang Pencipta lewat akal budi yang diterimanya. Demikian juga dengan rasa pada kulit sehingga lahirlah pemanas atau pendingin di dunia ini. Manusia hanya mengembangkan apa yang sudah ada di alam semesta, pemberian Sang Pencipta.

Rasa hati juga sama. Kalau kita bisa mengenali apa itu rasa sedih, bahagia, takut, maka kita akan kembali kepada rasa hidup. Dan rasa hidup itu akan kita terima dengan tulus dan penuh syukur kalau kita bisa mengerti bahwa semua yang terjadi adalah kehendak SangPencipta. Rasa kecewa sebagai bentuk penolakan kita atas apa yang terjadi sebenarnya bentuk dari ketidakmngertian kita atas diri pribadi dan kehendak tersembunyi dari sang Pencipta. Kalau kita mengenali benar, maka kecewa itu tidak akan ada, dan barangkalai malah syukur lah yang muncul.

Rasa pada manusia adalah "Rasa Sang Pencipta" sendiri. Semua rasa berasal dan akan kembali kepada "Sang Rasa Sejati".

Gusti, mugi-mugi kawula saged mlebet ing Raos Sampeyan dalem piyambak,

Sembah nuwun konjuk Ing Gusti......






06 Desember 2010

CIPTA

Cipta biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang baru dan belum pernah ada sebelumnya, sehingga muncullah kata mencipta dan pencipta, meskipun kadang tidak sepenuhnya yang tercipta itu betul-betul baru. Cipta di sini mungkin cukup jelas dikaitkan dengan pikiran, gagasan, analisis, dll.

Cipta juga biasanya dikaitkan dengan hati-perasaan-jiwa sehingga selalu kita dengar ucapan mengheningkan cipta ketika kita mengikuti upacara bendera pada peringatan hari kemerdekaan tgl 17 Agustus. Dan cipta di sini membingungkan karena apa yang seharusnya diheningkan: perasaan, jiwa, hati ? Pada saat mengheningkan cipta, kita mungkin justru tidak bisa hening karena saya mendoakan arwah para pahlawan yang benar-benar pahlawan untuk bangsa ini, dan artinya pikiran-hati-perasaan saya tidak hening. Dan bisa jadi kebingungan itu semakin menjadi ketika semakin mencari tahu apa sebenarnya maksud dari cipta. Kamus bahasa Indonesia menunjukkan satu hal dari kata dasar cita sebagai asal kata cipta yaitu kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan arti lain yaitu angan-angan yang kreatif.

Lalu, apa sebenarnya pengertian cipta dalam hidup kita? Apakah hanya terkait membuat sesuatu yang baru atau tentang angan-angan saja? Apakah kalau kita tidak atau belum mampu mencipta, kita menjadi orang yang sia-sia selama hidup kita? Lalu, apakah ketika kita berangan-angan setinggi langit, kita bisa disebut sebagai manusia yang penuh cipta? Mencipta yang bagaimana itu lah masalahnya. Kalau kita menciptakan sesuatu yang baik pantaslah kita mendapatkan kebahagiaan batin, tapi kalau yang buruk yang kita ciptakan maka sengsara lah yang akan kita buat sekaligus yang kita rasakan baik kepada diri sendiri atau terhadap makhluk lain.

Cipta sebagai angan-angan yang kreatif, sebagai olah pikir, sebenarnya adalalah bentuk kasar dari keberadaan cipta yang lebih dalam. Cipta ini, yang pada hakikatnya sebagai hati-perasaan-jiwa, sebenarnya berkaitan dengan membuat sesuatu yang baru dan bermakna secara batiniah. Mengheningkan cipta - ngeningke batin-budi-rasa, adalah menyiapakan diri secara spiritual untuk menciptakan kesadaran baru dalam hidup kita. Mengheningkan cipta munkin bisa dimengerti sebagai menghentikan semua angan-angan kreatif, dan membiarkan hati-perasaan-jiwa sendiri yang menjelalah batin kita untuk menemui Sang Pencipta Sejati, guru sejati manusia. Menghentikan bukanlah berarti tidak memakai hati-perasaan-jiwa lagi sebagai pemberian Sang Pencipta, tapi lebih pada membiarkan hati-perasaan-jiwa dikuasai sepenuhnya oleh keberadaan Sang Pencipta dalam batin kita dan tidak lagi memikirkan masa lalu dan masa depan, membiarkan batin pada keadaan kosong yang sebenarnya sangat penuh dengan daya cipta dan kebenaran kesadaran sejati.