Sampai saat ini, dalam hidup saya, beberapa kali saya bermimpi tentang hal yang sama persis. Bahkan mimpi itu berlanjut selama 2-3 hari, sama seperti serial sinetron di TV kesukaan saya.
dalam mimpi itu, saya berenang di sebuah sungai yang panjang. Terus berenang tiada henti, terseret pusaran sebelum melewati jeram, perih karena terbentur batu-batu yang mencuat di sepanjang aliran. Terkadang harus berputar-putar mencari jalan keluar dari bendungan yang luas dan terseret terbawa aliran deras pintu air. Tidak ada kekuatan untuk mengjindari, tanpa daya! Tidak ada orang lain di aliran air itu. Kosong, mlompong!.
Disepanjang sungai selalu saya lihat orang yang saya kenal dan mengenal saya, tapi mereka seolah tidak mendengar panggilan saya padahal mereka sangat dekat dengan pinggir sungai. Mereka seolah tidak melihat saya yang terus berenang dan terus memanggil mereka satu persatu. Entah mengapa saya tidak bisa keluar dari air, ora bisa mentas! Sepi sajroning lan antaraning rame!
Dalam kesepian diantara keramaian itu, saya kembali berenang, terbawa arus air yang semakin kuat, deras dan membuat saya sia-sia menolaknya, Duh Gusti, kawula namung saged ngeli kaseret santering tirta. Lalu pusaran air semakin kuat dan akhirnya saya terbawa sampai muara, terus terhempas gelombang yang menghempas ke pantai dan kembali terseret ombak tinggi ke tengah laut, kembali tergulung dalam lingkaran gelombang, tenggelam dalam kesepian di dalam pusaran. Akhirnya, saya tidak bisa berenag lagi dan meyerahkan hidup pada samudra, hanya bisa mengambang di tengah kesunyian yang sangat senyap, dan bahkan tidak bisa mendengar suara riak air. Semua menjadi hening, dan tidak berdaya sama sekali, menyerah pada apa saja yang akan terjadi. kadya tinilar ing sunyaruri, lan namung saged pasrah dhumateng ingkan badhe dumados!
Pada satu titik, suatu pemahaman baru muncul bahwa NOL, KOSONG, SEPI itu sungguh bermakna menjadi keheningan, wening . Dalam kekosongan itu, Suara Sejati lah yang bergaung dan terdengar jelas dan saya bisa berbicara dengan sangat bebas tentang apa saja yang saya rasakan. Gema yang menggaung tidak menunjukkan adanya kenihilan, tetapi justru mencerminkan kejernihan suasana, ing kaweningan bisa ngenali suara kang sejati . Tong tidak akan bergaung kalau di dalamnya penuh dengan benda-benda, suara yang saya hasilkan akan terserap oleh lapisan-lapisan yang ada pada barang itu dan kita tidak bisa mendengar dengan jernih apa yang saya ucapkan. Sisi-sisi tong akan memantulkan suara saya kembali, bahkan beberapa kali lebih kuat sehingga semakin sadarlah saya atas suara saya. Lidah saya sebagai sumber suara menjadi tidak bisa ditolak lagi kebenarannya, ajining dhiri saka ing lathi tidak terbantahkan lagi justru karena kehampaan dan kekosongan tong itu.
Dalam kesepian yang mungkin sangat menyakitkan, sebenarnya saya bisa merasakan kekuatan yang lain karena justru dalam sepi itu lah sisi-sisi lain dari saya bisa terlihat. Sakit yang muncul menjadi tanda bahwa itu lah pengalaman yang terjadi selama ini, goresan itu menjadi tanda bagaimana saya harus berjuang dan mempertahankan apa yang saya yakini dalam hidup saya selama ini. Dalam-tidaknya goresan menandai kedalaman kekuatan tersembunyi, ke sadaran bahwa kekuatan itu betul-betul anugerah dari Sang Pencipta.
Dalam keheningan samudra hidup-segaraning urip- itu juga, seluruh syaraf masuk dalam keadaan sunyaruri dimana tidak ada batas yang jelas antara manusia dengan Sang Pencipta, alam mikro masuk ke dalam alam makro, jagat cilik lan jagat gedhe nyawiji, manunggal. Cipta dan rasa menyatu dalam gerakan indah dan melambangkan kemegahan hubungan personal antara jagat cilik lan jagat gedhe, menyatunya manusia dengan sang pencipta meskipun sifatnya hanya sesaat , manunggaling Kawula Gusti sanadyan mung saklerapan netra.
Jadi, kenapa harus takut dengan sepi dan kehampaan kalau itu ternyata jauh lebih bermakna daripada keramaian dan kebisingan?
"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H", mari memaknai NOL sebagai kekosongan dan kehampaan yang sangat indah, wening, megah. Dan kita bisa menari bersama dewa-dewi kebenaran sejati.
sembah nuwun konjuk ing Gusti
dalam mimpi itu, saya berenang di sebuah sungai yang panjang. Terus berenang tiada henti, terseret pusaran sebelum melewati jeram, perih karena terbentur batu-batu yang mencuat di sepanjang aliran. Terkadang harus berputar-putar mencari jalan keluar dari bendungan yang luas dan terseret terbawa aliran deras pintu air. Tidak ada kekuatan untuk mengjindari, tanpa daya! Tidak ada orang lain di aliran air itu. Kosong, mlompong!.
Disepanjang sungai selalu saya lihat orang yang saya kenal dan mengenal saya, tapi mereka seolah tidak mendengar panggilan saya padahal mereka sangat dekat dengan pinggir sungai. Mereka seolah tidak melihat saya yang terus berenang dan terus memanggil mereka satu persatu. Entah mengapa saya tidak bisa keluar dari air, ora bisa mentas! Sepi sajroning lan antaraning rame!
Dalam kesepian diantara keramaian itu, saya kembali berenang, terbawa arus air yang semakin kuat, deras dan membuat saya sia-sia menolaknya, Duh Gusti, kawula namung saged ngeli kaseret santering tirta. Lalu pusaran air semakin kuat dan akhirnya saya terbawa sampai muara, terus terhempas gelombang yang menghempas ke pantai dan kembali terseret ombak tinggi ke tengah laut, kembali tergulung dalam lingkaran gelombang, tenggelam dalam kesepian di dalam pusaran. Akhirnya, saya tidak bisa berenag lagi dan meyerahkan hidup pada samudra, hanya bisa mengambang di tengah kesunyian yang sangat senyap, dan bahkan tidak bisa mendengar suara riak air. Semua menjadi hening, dan tidak berdaya sama sekali, menyerah pada apa saja yang akan terjadi. kadya tinilar ing sunyaruri, lan namung saged pasrah dhumateng ingkan badhe dumados!
Pada satu titik, suatu pemahaman baru muncul bahwa NOL, KOSONG, SEPI itu sungguh bermakna menjadi keheningan, wening . Dalam kekosongan itu, Suara Sejati lah yang bergaung dan terdengar jelas dan saya bisa berbicara dengan sangat bebas tentang apa saja yang saya rasakan. Gema yang menggaung tidak menunjukkan adanya kenihilan, tetapi justru mencerminkan kejernihan suasana, ing kaweningan bisa ngenali suara kang sejati . Tong tidak akan bergaung kalau di dalamnya penuh dengan benda-benda, suara yang saya hasilkan akan terserap oleh lapisan-lapisan yang ada pada barang itu dan kita tidak bisa mendengar dengan jernih apa yang saya ucapkan. Sisi-sisi tong akan memantulkan suara saya kembali, bahkan beberapa kali lebih kuat sehingga semakin sadarlah saya atas suara saya. Lidah saya sebagai sumber suara menjadi tidak bisa ditolak lagi kebenarannya, ajining dhiri saka ing lathi tidak terbantahkan lagi justru karena kehampaan dan kekosongan tong itu.
Dalam kesepian yang mungkin sangat menyakitkan, sebenarnya saya bisa merasakan kekuatan yang lain karena justru dalam sepi itu lah sisi-sisi lain dari saya bisa terlihat. Sakit yang muncul menjadi tanda bahwa itu lah pengalaman yang terjadi selama ini, goresan itu menjadi tanda bagaimana saya harus berjuang dan mempertahankan apa yang saya yakini dalam hidup saya selama ini. Dalam-tidaknya goresan menandai kedalaman kekuatan tersembunyi, ke sadaran bahwa kekuatan itu betul-betul anugerah dari Sang Pencipta.
Dalam keheningan samudra hidup-segaraning urip- itu juga, seluruh syaraf masuk dalam keadaan sunyaruri dimana tidak ada batas yang jelas antara manusia dengan Sang Pencipta, alam mikro masuk ke dalam alam makro, jagat cilik lan jagat gedhe nyawiji, manunggal. Cipta dan rasa menyatu dalam gerakan indah dan melambangkan kemegahan hubungan personal antara jagat cilik lan jagat gedhe, menyatunya manusia dengan sang pencipta meskipun sifatnya hanya sesaat , manunggaling Kawula Gusti sanadyan mung saklerapan netra.
Jadi, kenapa harus takut dengan sepi dan kehampaan kalau itu ternyata jauh lebih bermakna daripada keramaian dan kebisingan?
"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430 H", mari memaknai NOL sebagai kekosongan dan kehampaan yang sangat indah, wening, megah. Dan kita bisa menari bersama dewa-dewi kebenaran sejati.
sembah nuwun konjuk ing Gusti