21 September 2009

BERHITUNG II : cara SANG PENCIPTA


Ketika saya mulai mencoba mendalami apa itu agama dan iman, ternyata angka juga muncul dalam pemikiran dan pemahamanan. Mulai dari berapa persen orang yang beragama dan berapa persen dari yang beragama beriman pada satu nama. Juga angka dan pertambahan serta pengurangannya ternyata sangat mempengaruhi bagaimana sekelompok manusia ingin mewarnai kehidupan bernegara dan beragama.

Angka juga kembali bermakna ketika Sang Pencipta dianggap betul-betul berjanji akan melipatgandakan apa yang manusia lakukan pada saat-saat yang dianggap sesuai kehendak Sang Pencipta. Keyakinan itu barangkali berangkat dari kerinduan yanga amat sangat dari manusia atas kasih Sang Pencipta pada saat kita kembali ke rumahnya. Apa yang sudah kita lakukan akan kita harapkan sebagai alat hitung kita supaya semakin tinggi daya tawar kita sehingaga semakin mantaplah hati SangPencipta menerima kita dan kita akan disatukan dengan mereka yang benar-benar sudah berada di rumahnya. Kita akan diterima dan dilayani oleh para sejumlah bidadari karena pemenuhan kehendak Sang Pencipta meskipun itu berarti mengambil hak hidup orang lain. Kita akan disatukan dalam perjamuan abadi karena sudah memenuhi sepersepuluhan yang kita berikan dengan terpaksa kepada sesama.

Ah... barangkali cara berhitung SangPencipta berbeda dengan kita dan justru mungkin sangta berbalik dengan cara kita. Apa yang kita anggap sebagai melaksanakan kehendak Sang pencipta, bisa jadi dianggap rame ing pamrih olehnya karena ternyata kita memang senantiasa menyuarakan dengan sangat keras apa yang sudah kita lakukan, yang ternyata memang hanya sekedar mencari muka kepada Sang Pancipta. Mungkin Sang pencipta justru sedih melihat cara berhitung kita karena brangkali bukan seperti itu yang diinginkannya, tapi kita tetap saja bertindak dengan cara kita berhitung. Bisa jadi perkalian 10 kali lipat yang kita harapkan justru menjadi pembagi 10 kali lipat, sepersepuluh yang kita berikan dan dharapkan sebagai tambahan bisa jadi menjadi sepersepuluh sebagai pengurang kita.

Pada akhirnya, saya justru takut belajar berhitung karena cara saya sangat mungkin berbanding terbalik dengan cara berhitung Sang Pencipta . Apa yang saya anggap sebagai nilai 10 atau 100 bisa jadi malah hanya angka yang tidak bernilai sama sekali, perkalian bisa menjadi pembagian. Mungkin saya lebih baik tidak belajar berhitung dan tidak memakai angka dalam melakukan sesuatu, lebih baik Sang Pencipta saja yang berhitung. Mungkin sebaiknya saya melakukan sesuatu tanpa mengharapkan ada perkalian sebagai cara berhitung, Atau, sebaiknya saya membuat orang lain merasa senang dan bisa membuat mereka tersenyun saja karena senyum tidak ada hubungannya dengan cara berhitung. Atau, mungkin saya lebih baik menganggap apa yang saya lakukan memang seharusnya saya lakukan tanpa pikir apakah itu bisa bermakna sebagai berhitung atau bukan.

sembah nuwun konjuk ing Gusti



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN BERKOMNETAR APA SAJA, BEBAS KOK!