08 Februari 2011

GUSTI

Manusia sering membuat banyak nama untuk sesuatu barang yang sama bentuk dan fungsinya. Kadang ada nama yang sama, kadang ada yg betul-betul berbeda, dan bahkan ada yang bertolak belakang pemakaian dan artinya. Nama bisa merujuk sesuatu yang mengandung sesuatu yang lain juga. Manusia juga sering "merasa memiliki" secara khusus dan berjuang mati-matian demi sebuah nama sebagai milik pribadi yang tidak boleh diakui milik orang lain.

Nama sebenarnya hanya sebuah alat untuk mengenal sesuatu, merasa akan sesuatu, membantu ke suatu sasaran tertentu. Tanpa sebutan apa pun, kita bisa mengenal sebuah bentuk barang yang akhirnya bernama rumah, dan yang membuat pedas adalah cabai, timur adalah arah matahari terbit. Suara, cipta, rasa, urip adalah nama atau sebutan yang juga untuk mengenal, merasa, menuju kepada sesuatu.

Pada hakikatnya, semua nama yang ada di bumi ini akhirnya akan mengarah pada suatu nama yang paling agung, paling tinggi dan paling luhur, yaitu Tuhan, Allah, Yahwe, Dewa, dll yang sebenarnya mengacu pada "Sang Tak Bernama". Sebagai manusia Jawa, saya merasa lebih nyaman dengan sebutan Gusti untuk " sang tak bernama".Suara, cipta, rasa, urip yang coba saya dengungkan dalam dan dengan kedalaman suara, cipta, rasa, dan urip itu sendiri pada akhirnya memasukkan saya pada hakikat gusti dan akhirnya semuanya melebur ke dalam "wening-bening, meneng - eneng". Suatu keadaan yang tanpa nama dan tanpa bentuk, tapi ada dan nyata.

Lalu, mengapa manusia sering mempermainkan "sang tak bernama" dan mengakui sebagai milik pribadi yang tidak boleh diakui, dinodai atau diberi makna lain oleh manusia lain, sementara "sang tak bernama" itu sendiri jauh melebihi semua klaim kita? Mengapa manusia yang sebenarnya adalah milik Gusti "sang tak bernama" merasa lebih kuasa darinya? Gusti adalah GUru Sing sejaTI, guru sejati yang ada di dalam setiap relung suara, cipta, rasa dan urip manusia secara pribadi baik secara sadar diterima keberadaannya atau pun tidak. Gusti "sang tak bernama" sudah ada di dalam hati tanpa bisa kita tolak, dan percuma juga kita melepaskan itu. Manusia hanya tidak sadar atau tidak mau menyadari bahwa itu ada, dan bahkan lalu mencoba memaknai dan mengenalinyanya sebagai suatu nama yang kadang kita "kosongkan" rohnya, mempermainkannya, dan mengatasnamakannnya demi kepentingan pemuasan sendiri.

Dalam "wening-bening, meneng-eneng" sebenarnya Gusti "sang tak bernama" ,sebagai guru sejati, muncul sebagai sosok yang sangat luar biasa, yang pada hakikatnya mau menunjukkan bahwa manusia ada di dalam Gusti dan Gusti ada di dalam manusia, yang menjauhkan pribadi manusia pada pembenaran atas namanya, yang membebaskan manusia dari semua keterikatan duniawi, yang menggerakkan suara-cipta-rasa-urip. Dalam gusti sebenarnya tidak ada lagi pembeda pada semua sebutan, entah itu nama barang, manusia, agama dan keyakinan, bahkan "sang tak bernama" itu sendiri. Semua melebur dan menyatu pada hakikat yang sejati, sang GUru Sing sejaTI. Gusti tidak bisa kita terjemahkan lagi sesuai keinginan kita, sekehendak hati kita.

suara- cipta - rasa - urip - GUSTI.......

1 komentar:

  1. Yen menungso sadar...kabeh sumbere soko GUSTI,
    Ning matane GUSTI kabeh manungso podho ora ono bedane, maybe...tembe ono kedamaian,ketenangan.
    Opo iso????

    BalasHapus

SILAKAN BERKOMNETAR APA SAJA, BEBAS KOK!